Northern Lights

09:39

Aku sudah berjalan kaki selama satu jam lebih sekarang. Langit pun telah menunjukkan sisi lembayungnya, namun yang dapat kulihat hanyalah deretan pepohonan yang tidak jauh berbeda sejauh mata memandang. Aku seharusnya sudah sampai di Desa Drizzle sekarang, namun belum satu rumah pun dapat kulihat. Jalanan yang hanya dibatasi oleh dedaunan kering dan bekas jejak kereta bawaan yang melintas. Aku seperti dibelenggu oleh pagar hidup berupa lebatnya pepohonan. Terkadang, suara serangga musim panas terdengar bersahutan. Begitu tenang, namun begitu hidup.
"Apa yang harus kulakukan sekarang?" tanyaku kepada diri sendiri, baru menyadari kalau aku tersesat.
Aku mendengar suara air mengalir, seperti sebuah sungai yang deras. Aku memutuskan untuk berhenti dan minum, menyimpang dari jalan menuju tujuanku yang tak kunjung terlihat. Suara air mengalir terdengar semakin deras, bahkan terlalu deras untuk sebuah sungai. 10 menit aku berjalan, disemangati angin sejuk yang membawa uap air. Deretan pohon yang akhirnya membuka diri, menunjukkan sebuah air terjun yang indah kepadaku, dan sepasang mata yang terlihat heran melihat kedatanganku.
Air terjun itu terlihat begitu megah, seperti istana raja jaman batu dulu. Air mengalir deras seperti air mata, begitu jernih sehingga ikan yang berenang melawan pun ikut terlihat di dasar sungainya. Namun, indah air terjun itu tak mengalihkan perhatianku dari satu sosok indah yang tak berhenti memandang ke arahku. Seorang gadis yang tampak lugu, umurnya nampak tak jauh denganku. Rambutnya panjang berwarna kuning pucat, dibelah pinggir dan diikat dengan pita putih di kedua ujungnya. Tatapan kedua matanya yang berwarna biru langit begitu dalam, seperti melontarkan anak panah yang dipenuhi bias warna, menembus mataku dan membunuh satu denyut jantungku.
"Permisi, boleh aku bertanya arah ke desa?" tanyaku kepada gadis itu, dengan pikiran yang masih setengah berimajinasi.
"....Timur," jawabnya pelan.
Hari sudah hampir berganti malam, aku memilih untuk langsung meneruskan perjalanan ke desa. Kuisyaratkan terima kasih kepada gadis itu, kembali ke dalam hutan dan berlalri meneruskan perjalanan. Ternyata aku ada di jalan yang benar sejak tadi, mungkin aku hanya tidak tahan dengan pemandangan pepohonan yang tidak ada habisnya. Atau mungkin ini takdirku untuk bertemu gadis itu.
"Gadis itu.. Aku lupa menanyakan namanya," ucapku, menyadari betapa bodohnya tingkahku tadi.
Seorang gadis cantik, tinggal sendiri di dekat air terjun, di tengah hutan. Pikiranku mulai kacau dengan rasa jatuh cinta sekaligus rasa merinding. Aku memutuskan untuk meninggalkan masalah ini untuk sementara.
Bulan sudah tiba di singgasananya, saat aku tiba di rumah baruku. Sebuah desa kecil yang begitu sepi, hanya berisikan beberapa rumah kayu yang sederhana. Masyarakatnya pun hidup dengan bertukar barang dan makanan. Inilah hidup dalam ketenangan yang aku cari.
Rumahku adalah satu-satunya rumah yang terbuat dari kayu Birch, jenis kayu yang lebih terang daripada kayu Oak, sehingga mudah ditemukan pada malam hari. Di dalam rumahku, terdapat 3 ruangan. Ruang tamu yang cukup luas sehingga dapat sekaligus digunakan sebagai dapur, kamar mandi yang hanya cukup memuat sebuah bak mandi dan toilet, serta sebuah kamar tidur yang sederhana.
Kulemparkan tas punggungku ke arah lantai kamar tidur, selagi aku melemparkan tubuhku ke arah tempat tidur. Ini adalah sebuah hari yang panjang, namun aku tak dapat terlelap. Ya, karena memikirkan gadis di air terjun itu.
Pagi sekali aku terbangun, bersemangat akan kehidupan baru yang aku jalani. Setelah pindah dari rumahku yang lama, ke sebuah desa kecil yang begitu tenang, aku tak menyesali keputusanku sedikit pun. Aku makan sepotong roti pagi ini, potongan terakhir yang aku punya setelah lama tersesat di hutan kemarin. Aku harus mencari sesuatu untuk ditukar dengan warga desa nanti.
Pandanganku teralih pada sebuah tongkat pancing yang terbuat dari rotan bambu, terduduk di pojok ruang tamu. Aku teringat akan gadis itu, maksudku, tentang banyaknya ikan di sungai air terjun itu. Terpikir olehku untuk pergi memancing sebelum matahari tinggi nanti.
Matahari baru melepaskan diri dari balik bukit, aku berjalan ke arah hutan membawa sebuah tongkat pancing, sebuah keranjang kosong, dan sekaleng cacing yang telah aku cari terlebih dulu untuk digunakan sebagai umpan nanti. Sesekali kereta bawaan melintas, membuat jalan yang sudah sempit semakin sempit. Terkadang aku harus memanjat pohon agar kereta bawaan itu dapat lewat. Entah bagaimana kalau ada dua kereta yang berpapasan.
Deretan pepohonan mulai menghilang di ujung pandanganku, percikan uap air membasahi tubuhku yang dingin karena udara pagi. Mataku mencari, bukan sekawanan ikan untuk ditangkap, namun satu sosok yang kuharap ada disini untuk menemani. Tak menemukan siapa-siapa, aku pun mulai memancing. Mentari pagi sedikit menyengat, namun dingin hawa air terjun menyejukkan kulitku. Hatiku terpaku dengan tenangnya suara air terjun.
"Bolehkah aku...duduk disini?" suara seorang gadis membuatku terkejut. Sepasang mata yang aku cari-cari sejak tadi, tepat berada di depan wajahku saat aku menoleh. Entah aku harus terkejut atau harus terpana, namun mengingat sungai deras di belakangku, aku memilih untuk terdiam dan menjawab.
"Bo-boleh," kataku canggung. Lalu, gadis itu duduk di sampingku, memainkan jemari kakinya di dalam dingin air sungai. Sedekat ini, dapat kulihat jelas wajahnya yang ceria. Matanya pun sangat jernih, tak kutemukan beban dalam hatinya. Timbul gagasan dari hatiku untuk menanyakan namanya. "Ah!"
"Waaa!" gadis itu berteriak kecil, terkejut mendengarku.
Kami berdua terdiam sejenak menatap satu sama lain. Wajah gadis itu menunjukkan ekspresi sangat lucu saat dia terkejut, seperti ekspresi seorang bayi yang kehilangan permennya.
"Hehe, maaf. Boleh aku tau namamu?" tanyaku kemudian.
"....Tidak sopan," jawabnya berlagak cemberut."
Aku terdiam kembali dan berpikir. Namun kali ini, tanpa teriakan yang mengejutkan saat aku sadar.
"Namaku Nix, Nix Nocturne. Sekarang boleh aku tau namamu?" tanyaku kembali kepada gadis itu.
"Namaku Iris Aeroides, panggil saja aku Iris," balas gadis itu dengan sebuah senyuman lebar, matanya tertutup dan kepalanya dimiringkan ke kanan. Ingin rasanya kucubit kedua pipinya.
Iris, nama yang begitu indah menggetarkan hatiku, nama seorang gadis yang terus berkeliaran di pikiranku. Akhirnya aku dapatkan nama itu, nama yang bisa saja membuatku tidak tidur setiap malam kalau gagal bertemu dengannya hari ini.
"Pelangiiiii!" teriak Iris tiba-tiba. Kini giliran aku yang terkejut dan terdiam, aku hanya melihat ke arah Iris menunjuk. Dapat kulihat sebuah pelangi membusur melewati puncak air terjun. Melihat matahari yang sudah menjalani setengah perjalanannya, mungkin itu penyebab fenomena indah ini. "Setiap tengah hari, jika tidak hujan, aku selalu datang untuk melihat pelangi di sini," ucap Iris kepadaku.
Aku terkagum melihat pelangi di atas air terjun itu, namun otakku belum selesai memikirkan nama Iris sejak tadi. Aku yakin aku terlihat seperti orang yang terkena amnesia sekarang.
"Pelangi..." ucap Iris kembali, sekarang melihat ke arah sungai. Aku tetap terdiam, ikut melihat ke arah sungai dengan heran.
"Arti namaku adalah pelangi," jelas Iris kembali dengan ekspresi yang sama dengan saat dia memberitahu namanya padaku.
Senyumannya lebih dari indah, seperti pantulan bayangan pelangi di permukaan sungai tadi. Jelas saja arti namanya pelangi, dia sendiri memang secantik pelangi.
"Ah! Ini sudah tengah hari, aku harus segera pulang untuk menukar ikan-ikan ini," ucapku baru menyadari matahari sudah tinggi.
"Baiklah, sampai jumpa nanti," jawab Iris masih tersenyum padaku.
"Terima kasih sudah menemaniku hari ini!" Teriakku sambil berlari membawa keranjang penuh ikan dan masuk ke dalam hutan.
      Iris mengatakan sampai jumpa nanti kepadaku, itu artinya dia ingin aku kembali besok hari untuk menemuinya, wajahku memerah tanpa kusadari. Di tengah perjalanan ke desa, pikiranku masih dipenuhi oleh semua tentang Iris. Aku terus memikirkan apa dia benar-benar tinggal sendiri disana, namun aku takut pertanyaanku malah menyinggung perasaannya.
Tiba di desa, aku pun menukar semua ikanku dengan roti, sayuran, buah-buahan dan beberapa barang untuk ditaruh di rumah, karena sebenarnya aku sendiri tidak terlalu suka memakan ikan.  Aku terhenti di depan sebuah rumah, karena mataku tertarik oleh sebuah benda yang dipajang seorang penjualnya. Sebuah pedang, sudah lama aku tidak memegang satu. Aku menyadari penjual lelaki itu mulai memperhatikanku, dengan tatapan yang sama saat aku menatap pedang itu. Lelaki itu berambut hitam dan sedikit berdiri, wanginya seperti wangi besi yang ditempa panasnya api.
"Kau mau pedang besi ini, kawan?" tanya lelaki itu, masih dengan tatapan yang sama.
"Maaf, tapi aku tidak bisa menukarnya dengan apa-apa.”
"Bukan masalah, kau tidak bisa menyembunyikan kemampuan berpedangmu dengan tangan seperti itu. Bawalah saja."
Aku menaruh keranjang penuh makanan yang kubawa di atas meja dagang lelaki itu, dan mulai menggenggam pegangan pedang besi itu. Seperti sebuah nostalgia, memori yang tak terlalu ingin kuingat kini berkeliaran di kepalaku.
"Hei, bagaimana?" tanya lelaki itu menyadarkanku dari lamunan.
"Ini..seperti persis dibuat untuk tanganku, bahannya ringan, namun tampak tahan lama. Ini karya yang hebat."
"Tentu saja kawan, itu buatanku," ucap lelaki itu dengan penuh percaya diri.
Agak lama aku mengayun-ayunkan pedang itu, karena aku rindu sensasinya. Tetapi, lelaki itu tampak terhibur melihatku memakai pedang buatannya, ekspresi wajahnya menunjukkan rasa bangga.
"Baiklah, aku akan bawa pulang ini. Terima kasih...."
"Caminus! Panggil saja aku kalau kau butuh apapun," kata lelaki itu, meneruskan kalimatku.
"Terima kasih sekali lagi, Caminus."
Aku berpamitan pada Caminus untuk pulang ke rumahku, dia pun mengisyaratkan sampai jumpa. Wajah Caminus tampak begitu bersemangat, aku sadar pedang ini bentuk kepercayaannya pada kemampuanku. Aku pulang membawa 2 keranjang penuh makanan dan sebuah pedang yg kuikatkan di pinggangku dalam sarungnya. Kubuka pintu rumahku, menaruh semua barang di lantai kamar tamu, dan terduduk lelah di sofa.
"Huft.. Hari pertama yang melelahkan, tapi setidaknya aku sudah berkenalan dengan beberapa orang di desa. Beginilah seharusnya hidup," ujarku, menasihati diri sendiri.
Aku sangat kelelahan. Kusenderkan kepalaku di bantalan sofa, tatapanku ke arah langit-langit ruang tamu. Mataku mulai tak kuat membuka, aku membiarkan mimpi membawaku ke dunianya.
"Hm? Jam berapa ini?" aku terbangun lalu mengusap mataku.
"Ini sudah malam, Nix!" kalimat yang diteriakkan untuk menjawab pertanyaanku sekaligus benar-benar membuka kedua mata untuk melihat kehadiran Iris di depanku.
"I-Iris? Apa yang kamu lakukan di rumahku?" tanyaku padanya terkejut, aku hampir saja melompat ke belakang sofa.
"Kamu yang membiarkan pintu rumahmu terbuka, aneh. Aku mengikutimu ke sini, kamu harusnya berterima kasih karena aku telah menjagakan belanjaanmu," jawab Iris dengan eksprei pura-pura cemberut, kemudian tersenyum memamerkan kedua matanya yang bulat dan begitu indah.
Aku mengalihkan pandanganku karena jantungku tidak kuat menerima betapa indahnya Iris dari dekat, lalu aku terkejut melihat cairan merah di lantai.
"Iris! Apa itu?" tanyaku terkejut, menunjuk ke arah cairan itu.
"Hehe, tadi aku membawakan barang belanjaanmu masuk, tapi aku terpeleset dan akhirnya menjatuhkan botol saus tomatmu."
Ekspresiku berubah menjadi sedikit canggung. Ternyata Iris begitu ceroboh, namun sifat itu malah menambah rasa kagumku pada dirinya. Semakin dalam aku mengenal Iris, semakin ingin aku dekat dengannya.
"Maaf," ucap Iris dengan mata yang berkaca-kaca.
"I-iya, sudah tidak apa-apa, aku hanya sedang berpikir tadi," jawabku tersadar dari lamunanku, baru menyadari kalau Iris hampir saja menangis.
Iris kembali tersenyum, lalu kami membersihkan lantai yang terkena tumpahan saus tomat itu bersama. Merasa lelah, kami pun kembali duduk di ruang tamu.
"Nix, apa itu yang menempel di samping pinggangmu? Apa kamu tumbuh dan mengeluarkan ekor?" tanya Iris kebingunan.
"Bukan Iris, ini sebuah pedang besi," jawabku kepada pertanyaan aneh Iris, sambil mengeluarkan pedang itu dari sarungnya. Ekspresiku kembali canggung.
Aku menceritakan tentang pedang ini dan Caminus kepada Iris, Iris membalasnya dengan cerita tentang fenomena pelangi, ekspresiku semakin canggung. Iris memang aneh, namun hal itu membuatku semakin ingin menjadi bagian dari hidupnya. Selain itu, keanehannya membuat dirinya semakin lucu.
"Ah!" selaku tiba-tiba.
"Waaa! ....Nix," jawab Iris lagi-lagi terkejut.
"Maaf, hehe. Iris, boleh aku bertanya? Apa kamu benar-benar tinggal sendiri di hutan itu?"
"Dulu aku tinggal dengan seorang kakek, kakek itu yang menemukanku di hutan dan merawatku. Tapi, kakek meninggal 3 tahun yang lalu, sekarang aku hanya tinggal dengan burung peliharaanku."
Wajah Iris terlihat begitu suram, berbeda dengan biasanya. Iris mungkin terlihat seperti anak-anak, namun aku tahu dia pasti sangat mandiri. Tinggal sendiri itu tidak mudah, aku sendiri pernah merasakannya.
"Iris, ini sudah malam, pergilah tidur di kamarku. Besok aku akan mengantarkanmu ke rumah," kataku.
"Baiklah, mimpi indah, Nix."
Aku antarkan Iris ke kamar tidurku, lalu dia melemparkan sebuah senyum sebelum dia terlelap karena kelelahan. Kututup pintu kamar dan berjalan kembali ke ruang tamu, menikmati malam saat aku tak dapat tidur lagi. Aku memikirkan tentang Iris yang tidak pernah tau apapun soal orang tuanya, lalu aku mengingat diriku sendiri yang tumbuh tanpa sosok ayah. Ayahku wafat saat aku masih di kandungan, meninggalkan ibuku dan aku untuk hidup sendiri.
Saat itu kami tinggal di tengah sebuah padang salju bernama Gurun Glacier, karena dulu ayahku sendiri tidak punya cukup uang untuk membeli lahan rumah di kota. Aku dan Ibu hidup hanya dengan memancing ikan, mengumpulkan kayu bakar, dan berkebun pohon flurtem. Flurtem adalah satu-satunya tanaman berbuah yang dapat tumbuh di daerah dingin.
Burung hantu telah memulai serenadanya, nampaknya sudah hampir tengah malam. Aku memutuskan untuk tidur karena aku harus mengantarkan Iris pagi-pagi besok hari.
Aku terbangun oleh aroma roti panggang yang dibalut wangi lembutnya telur. Aku melihat ke arah dapur dan melihat Iris yang sedang memasak.
"Iris? Kamu bisa memasak?" tanyaku sedikit kagum.
"Tentu saja bisa, aku seorang perempuan, aneh," jawab Iris dengan ekspresi berlagak cemberut andalannya.
"Hehe, maaf, aku hanya penasaran."
"Baiklah, selamat makan, Nix!" Iris memberikanku sepiring roti panggang telur yang penampilannya membuatku semakin lapar karena belum makan dari kemarin siang.
"Baiklah! Selamat makan!" jawabku penuh semangat.
Aku melahap habis 2 potong roti panggang telur buatan Iris. Sudah lama aku tidak makan makanan selezat ini, aku jadi teringat saat terakhir Ibu membelikan telur dari kota dan memasakannya untukku. Masakan Iris sungguh luar biasa, membuat hatiku semakin terpikat padanya. Terbayang kalau suatu hari aku dapat hidup dengannya, hidupku pasti sempurna. Aku merasa malu karena imajinasiku sendiri.
"Nix, kenapa wajahmu memerah? Apa masakanku kurang enak?" tanya Iris heran.
"Ti-tidak apa-apa! Ini masakan terlezat yang pernah aku makan, Iris," jawabku sedikit canggung.
"Baiklah, kalau begitu makanlah lebih banyak lagi," Iris tersenyum melihatku menikmati masakan buatannya. Makan masakan selezat ini, ditemani dengan senyum Iris, mungkin adalah rasa yang paling indah yang pernah kurasakan di bumi ini.
"Iris, kamu sendiri sarapan apa?"
"Oh, aku menemukan banyak buah ini di keranjangmu, boleh aku memintanya?"
"Buah plum? Makanlah sebanyak yang kamu mau."
Aku merasa bahagia melihat Iris mengunyah buah plumnya, wajahnya tampak begitu ceria. Merasa kenyang, kami pun bersiap untuk pergi ke rumah Iris di dalam hutan. Aku bawa pedang besi yang diberikan Caminus, untuk berlatih di air terjun nanti pikirku.
"Iris, sejak kapan kamu memakai tas punggung?" tanyaku heran melihatnya memakai tas kain yang lebih besar daripada badannya.
"Oh, kamu lupa? Kamu bilang aku boleh membawa sebanyak yang aku mau."
"Isinya buah plum semua!" ucapku terkejut saat melihat isi tas punggung Iris.
Suara air terjun sudah terdengar, aku sedikit lelah, namun Iris masih terlihat begitu bersemangat sambil melahap plum-plumnya. Aku heran melihatnya tidak sedikit pun terlihat letih membawa tas sebesar itu.
"Iris, apa kamu tidak lelah membawa tas itu?" tanyaku kembali.
"Hah? Tas ini tidak berat sama sekali."
"Benarkah?" Aku mencoba mengangkat tas itu. "Eh? Isinya kosong? Kamu makan berapa banyak?"
Iris hanya tersenyum lebar, sementara ekspresiku canggung seperti biasa. Tak terasa, bersama Iris, aku telah sampai di air terjun.
"Nix, pelangiiiii!" teriak Iris girang.
"Iya iya, kamu tidak harus berteriak di telingaku."
Iris duduk terdiam di pinggir sungai menatapi pelangi itu, aku bisa melihat matanya memantulkan berbagai cahaya warna. Aku duduk di sampingnya untuk beristirahat.
"Nix, kenapa kamu tidak pernah tersenyum?" tanya Iris tiba-tiba.
"Hmm...kamu benar-benar mau tau kenapa?"
Iris mengangguk pelan, mengalihkan pandangannya ke arahku.
"Karena...aku terlihat seperti orang cacat mental saat aku tersenyum," jawabku mengelak. Iris menahan tawanya dan memukul badanku pelan.
Dulu, sewaktu aku masih kecil, Ibu selalu menunjukkan sebuah memento yang diberikan Ayah saat aku menangis. Seketika melihat memento itu aku akan berhenti menangis dan tertidur dengan sebuah senyuman. Memento itu sendiri terbuat dari emas, dengan mata batu lapiz lazuli berwarna biru menyala. Memento itu didapat Ayah secara turun-temurun, sekarang masih tersimpan di rumahku yang lama. Namun, aku belum dapat mengambilnya kembali hingga sekarang.
"Passu passu!" tiba-tiba terdengar suara seekor burung ketakutan.
"Iris, berlindung!" peringatku melihat seekor burung Passerem terbang cepat ke arah kami.
"Tidak apa-apa Nix, ini temanku, Passu," ucap Iris membiarkan burung itu bertengger di lengannya.
Passerem adalah sejenis burung yang mirip gagak, bulunya berwarna hitam, namun ukuran tubuhnya 2 kali lebih besar. Korona matanya berwarna merah terang, membuat mereka mudah ditemukan pada malam hari. Yang paling khas dari seekor Passerem adalah ujung sayap mereka yang berwarna-warni.
"Ada apa, Passu? Kenapa kamu terbang terburu-buru?" tanya Iris heran.
"Raaarrrrr," seekor Lupus datang berlari cepat dari dalam hutan menyusul Passu, nampaknya itulah yang membuat Passu takut.
Lupus adalah hewan berkaki empat yang mirip dengan seekor serigala. Warna kulitnya hitam, coklat, atau putih. Ciri khas Lupus adalah wajahnya yang mirip dengan seekor kelelawar, Lupus juga merupakan hewan nokturnal dan hidup berkelompok.
"Apa yang dilakukan seekor Lupus sendirian disini pada siang hari?" tanyaku panik. Nampaknya Passu terbang dari tempat yang jauh dan membawa Lupus ini kemari. Latihan pedangku pun nampaknya akan datang lebih cepat.
Aku teringat kejadian 9 tahun lalu, saat aku masih berumur 13 tahun. Aku dan Ibu baru saja pulang sehabis memancing ikan, namun yang kami temukan adalah sekelompok Lupus yang menyerang rumah kami untuk mencari makanan. Ibuku menyuruhku untuk lari ke Kota Kamanu, karena aku belum bisa apa-apa. Ibu pun menahan lupus-lupus itu sementara aku hanya bisa berlari menuruti perintah Ibu. Aku tidak menoleh ke belakang sekali pun, dan semenjak saat aku tidak pernah melihat Ibu lagi.
Aku mengeluarkan pedangku dari sarungnya, mencoba menghindari cakar dan taring Lupus yang sangat tajam sambil menyerang sisi samping tubuhnya. Jika dia menerkam tiba-tiba habislah aku. Namun, Lupus itu begitu lincah, aku hanya dapat melukai beberapa bagian tubuhnya karena aku juga masih ketakutan. Aku kira inilah akhir hidupku, saat Lupus itu sudah siap menerkam, lalu tiba-tiba sebuah bola cahaya putih terbang melintas lalu menghantam lupus itu. Lupus itu pun berlari kembali jauh ke dalam hutan.
"Iris? Aku tidak tahu kalau kamu bisa menggunakan sihir," ucapku terkejut.
"Kakek yang mengajarkanku dulu. Tapi Nix, kamu begitu pandai dengan pedang, dari mana kamu belajar?" balas Iris.
"Aku pernah menjadi seorang ksatria istana untuk beberapa tahun, dari sanalah aku belajar seni berpedang."
2 tahun kemudian setelah kehilangan Ibu dan kemudian tinggal di sebuah panti asuhan, aku memutuskan untuk bergabung dengan pasukan Istana Paltina di Kota Kamanu. Di sana, setiap hari aku habiskan untuk berlatih pedang, berharap aku dapat melindungi diriku sendiri dan orang lain suatu hari nanti. Namun, sebuah istana memang bukan tempatku. Akhirnya, setahun yang lalu aku  memutuskan untuk pergi hidup bebas dan berpetualang, sampai akhirnya menemukan rumah di desa ini untuk ditinggali.
"Nix, kau tidak apa-apa?" tanya Iris, khawatir melihatku.
"Iya, mari kita teruskan perjalanan ke rumahmu dan beristirahat."
Iris melambaikan selamat tinggal pada pelangi kesayangannya, Passu pun ikut berkicau ke arah pelangi. Kami masuk kembali ke arah hutan sebelah selatan, menyeberangi sungai lewat jembatan kayu. Tidak jauh masuk ke dalam hutan, kami pun tiba di rumah Iris. Rumahnya tersusun oleh kayu yang tampak begitu tua dan kokoh. Dinding luarnya di cat berwarna-warni tak beraturan dengan apapun yang bisa ditemukan di hutan. Di atapnya berdiri sebuah cerobong asap, melihatnya saja sudah membuat badanku hangat.
"Ta-da! Bagaimana menurutmu?" tanya Iris menunjukkan rumahnya.
"Errr....unik....sekali?" jawabku canggung, sambil berjalan memasuki rumah.
Bagian dalam rumah Iris terlihat begitu berbeda. Semuanya tertata rapi dan beraroma menenangkan. Ukuran rumah Iris tidak terlalu besar, namun masih lebih luas daripada rumahku, karena Iris punya 2 kamar tidur dan ruang makan yang terpisah.
"Semua lantai dan dinding bagian dalam, dibuat dari kayu mahoni. Kakek menyukai warnanya yang coklat kemerahan. Jadi Kakek melarangku mengecat bagian dalam, hanya bagian luar saja yang boleh," jelas Iris padaku sambil memberi makan Passu.
Aku pun terduduk lelah di ruang tamu Iris, sementara Iris membuat sesuatu di dapur. Kakek Iris pasti adalah orang yang baik dan lembut, aku yakin dari seleranya memilih kayu mahoni.
"Minumlah dulu, teh ini bagus untuk menghilangkan lelah," ucap Iris datang membawakan dua cangkir teh.
"Teh apa ini Iris?"
"Ini teh moondrop, tanaman yang hanya tumbuh saat bulan purnama."
Aku menikmati secangkir teh bersama Iris, teh langka beraroma lezat yang Iris siapkan hanya untukku. Kupikir belum pernah aku mengenal orang sebaik Iris, selain Ibuku tentunya, mungkin Kakek itu yang mengajarkannya kepada Iris.
"Hey, Iris. Sebenarnya, seperti apa kakekmu itu?" tanyaku penasaran.
"Kakek adalah orang yang baik dan lembut. Walaupun hidupnya susah, namun dia mau merawatku di sini. Bagiku, Kakek dan Passu sudah seperti keluarga, walaupun aku belum pernah tau rasanya memiliki keluarga."
"....Keluarga, ya?" tanyaku tanpa sadar saat berpikir.
Aku teringat tentang kerja keras Ayah dan semangat hidup Ibu, tapi aku sadar aku tak pernah berbuat apa pun untuk mereka. Aku hanya dapat hidup dan terus berlari meninggalkan mereka. Aku rindu akan keluarga, andai ada yang bisa aku lakukan, setidaknya untuk bisa mengenang Ibuku. Lalu, aku teringat akan memento itu. Memento lapiz lazuli peninggalan turun temurun Ayah yang masih tersimpan di dalam rumah lamaku di Gurun Glacier. Aku harus mendapatkannya kembali, atau aku lebih baik mati dimakan lupus-lupus itu, tekadku sudah bulat.
"Nix, kau tidak apa-apa? Apa kau lelah?" Tanya Iris, menyadarkanku dari renungan.
"Tidak apa-apa, Iris. Aku hanya teringat akan keluargaku," jawabku pelan.
"Kau bisa ceritakan segalanya padaku, Nix," balas Iris, tersenyum hangat.
Aku ceritakan semuanya ke Iris saat itu. Mulai dari saat aku hidup susah, lari dari keluargaku, bekerja sebagai ksatria di istana, hingga akhirnya pindah ke sini. Tak terasa, malam pun tiba.
"Iris, kamu tampak mengantuk, pergilah tidur. Maaf aku sudah bercerita terlalu lama hingga kamu terjaga hingga larut malam seperti ini," kataku, melihat Iris yang sudah setengah sadar.
"Hm, baiklah. Tidak apa-apa, aku senang bisa lebih mengenalmu. Mimpi indah, Nix, jangan tidur terlalu malam."
Aku mengangguk dan pergi mengantarkan Iris ke dalam kamarnya. Lalu, saat Iris telah tertidur, aku pergi meninggalkan rumahnya.
"Maaf, Iris, mungkin aku tak akan bisa kembali. Tapi, ini satu-satunya hal yang bisa aku lakukan. Untuk mengenang keluargaku, untuk menebus dosa-dosaku," ucapku dalam hati.
Di tengah sunyinya malam, aku pun berangkat menuju Kota Kamanu, di mana aku berlatih dan bekerja di Istana Paltina beberapa tahun lalu. Aku memutuskan untuk beristirahat di kemah prajurit, mudah saja, karena mereka semua masih mengenalku.
Fajar menjemput, kuteruskan perjalanan menuju gerbang utara Kamanu. Jika aku berjalan lurus ke tenggara dari gerbang ini, aku yakin aku bisa menemukan rumahku yg lama, itu pun kalau masih berdiri. Aku pun bergegas menuju Gurun Glacier. Suhu dingin merasuki langkahku yang berat di padang salju. Aku tidak lagi terbiasa dengan cuaca di sini, namun aku harus tetap berjalan. Kulihat bayangan gubuk kayu yang dikerumuni sekelompok lupus dari balik badai salju, aku sudah menduga hal ini akan terjadi. Rumahku telah menjadi sarang lupus.
Di luar rumah, terlihat 6 ekor Lupus tertidur pulas. Keputusanku untuk datang di pagi hari memang tepat, aku tau mereka hewan nokturnal. Kelemahan lupus ada di bagian atas kepalanya, aku harus menyelinap dari balik badai salju dan membunuh mereka satu per satu. Aku berjalan perlahan, mengikuti suara angin badai salju agar mereka tidak mendengar langkahku atau mencium aroma tubuhku. Satu lupus mati di tanganku, tanpa suara. Gerakan hati-hati memang membutuhkan waktu yang lama, namun aku berhasil membunuh 2 ekor lupus lagi dengan cara ini.
Hingga lupus keempat, aku melihat ada sesuatu yang berbeda. Lupus berkulit hitam dan matanya yang terluka sebelah, lupus yang menerkam Ibu saat terakhir aku melihatnya. Dalam keragu-raguanku, lupus itu terjaga, kemudian membangunkan 2 ekor kawanannya.
"Inilah takdirku, untuk Ibu, untuk keluargaku," aku berdoa di dalam hati.
Aku memainkan pedang secara cepat, walau langkahku dalam tebalnya salju terhambat, aku mencoba menghindari cengkraman lupus-lupus itu. Aku berhasil menahan mereka selama beberapa saat, hingga akhirnya aku kelelahan dan terjatuh, aku kira inilah akhirnya. Lupus hitam itu mencengkramku, menahan kedua tanganku di tanah dengan kuat. Tatapan matanya begitu tajam, tak bisa kurasakan rasa kasihan padanya. Aku diam, aku bisa saja mati, namun melawan hanya akan menghabiskan sisa tenaga yang kupunya. Tiba-tiba, sebuah bola cahaya putih terbang menghantam seluruh lupus itu, mereka semua terlempar dan membebaskanku dari kepungan.
"Iris! Apa yang kamu lakukan di sini?" tanyaku terkejut.
"Tentu saja menyelamatkan nyawamu, aneh," jawab Iris dengan wajah pura-pura cemberutnya lalu tertawa. "Kalau kamu rindu keluarga sampai begini, kamu anggap aku siapa?"
"Sudahlah dulu bertengkarnya, kita masih punya musuh yang ancamanya nyata," sela Caminus menyindir, keluar dari bukit tempat Ia bersembunyi sejak tadi, membawa sebuah busur dan beberapa anak panah.
Aku langsung mengangkat pedangku kembali dan berlari ke arah lupus hitam itu, kali ini tanpa keraguan karena aku tau Iris dan Caminus menjagaku dari belakang. Sekali lagi takdirku, untuk Ibu, untuk keluargaku. Bukan hanya keluarga yang berhubungan darah, melainkan mereka semua yang rela peduli pada hidupku.
Iris dan Caminus tampak dengan mudah mengatasi 2 lupus lainnya. Aku tau aku pun harus berhasil. Aku melakukan gerak berputar, mengecoh lupus hitam yang mencoba mencengkram, lalu melompat dan menusuknya tepat di bagian kepala. Inilah takdir yang telah kupenuhi.
"Iris, bagaimana kamu bisa menemukanku di sini tepat waktu?" tanyaku heran, melanjutkan perbincangan tadi.
"Passu melihatmu keluar dari rumah dan kemudian membangunkanku, lalu aku pergi mencari orang yang kamu ceritakan kemarin, Caminus. Dan juga aku merasa ini satu-satunya tempat yang akan kamu datangi, jadi kami pergi menyusulmu bersama."
"Terima kasih, Iris, Caminus...."
"Passu passu!" sela passu.
"...dan juga Passu, kalian telah menyelamatkan hidupku," ucapku.
"Lewatkan saja ucapan resminya, ambillah hal penting yang kamu cari dulu," balas Caminus.
Aku langsung berlari ke dalam rumah dan membuka laci di bawah tempat tidur. Di bawah tumpukan buku yang dilapisi debu, di situlah dia, memento keluargaku. Aku menggenggam batu lapiz lazuli itu dengan erat dan membawanya kembali keluar.
"Nix, apa itu?" tanya Iris menunjuk ke arah langit, bersama Caminus dan Passu yang juga bingung mengadah ke langit.
Kumpulan gelombang cahaya menari-nari di atmosfer, warnanya berubah-ubah setiap beberapa detik. Kadang hijau, biru muda, kuning, bahkan merah seperti api. Menghiasi langit gelap padang salju Gurun Glacier dengan kami sebagai saksi.
"Itu cahaya utara, Iris. Cahaya aurora," jawabku, ikut terpaku menatap langit.
Aku duduk berdua menyaksikan aurora bersama Iris, aku dapat melihat matanya yang penuh warna, sama seperti saat dia menyaksikan pelangi.
"Nix!" Teriak Iris tiba-tiba menoleh ke arahku.
"Wah! Kenapa Iris?" Aku terkejut.
"Kamu tadi tersenyum, hehe," ucap Iris dengan ekspresi yang sama saat Ia memberitahu namanya kepadaku pertama kali.
"Benarkah begitu? Hehe, aku tidak menyadarinya."
Senyum Iris begitu indah, membawakan kedamaian ke dalam hidupku, dan membuatku dapat tersenyum kembali. Iris memberiku sebuah makna baru tentang keluarga hari ini.
"Iris, apa yang paling kamu inginkan di dunia ini?" tanyaku pelan kepada Iris.
"Aku ingin tetap melihat pelangi setiap hari, tapi hanya bersamamu, Nix," Iris tersenyum menutup matanya, kemudian membukanya lagi dengan ekspresi polos. "Kalau Nix? Apa yang paling kamu inginkan sekarang?"

"Aku ingin...sebuah keluarga, bersamamu, Iris," jawabku, mengelus wajah lembutnya yang dihiasi sebuah senyuman. Sebuah senyuman yang akan kulindungi dengan hidupku mulai detik ini.

You Might Also Like

3 Comments

  1. awwwww so sweet~
    wkwk mau dong jadi si nix..gpp deh jd lesbong yg penting bisa dpt si iris XD
    kukira si caminus bakal jadi pihak ketiga diantara mereka,ternyata enggak ya :-| <<<tipe manusia yang menyukai konflik
    bagus ndri,mantap. 10 out of 10

    BalasHapus
  2. Autis lu no, kebanyakan nonton sinetron cinta segitiga :|
    awalnya sih aku mau bikin konflik si caminusnya jatuh cinta sama si nix, tapi ga jadi nanti jadi aib :|

    BalasHapus
  3. apah,caminus ama nix?? sial,itu justru jauh lebih baik...
    bikin sekuelnya ndri,endingnya yg menegangkan ye :P

    BalasHapus

Popular Posts

Try These

The Alchemist
Veronika Decides to Die
The Zahir
The Pilgrimage
Rhapsody
Niskala
Winter in Tokyo
Autumn in Paris
Summer in Seoul
Sunshine Becomes You
Spring in London
Madre: Kumpulan Cerita
Perahu Kertas
Supernova: Ksatria, Puteri, dan Bintang Jatuh
Filosofi Kopi: Kumpulan Cerita dan Prosa Satu Dekade
The Lightning Thief
The Battle of the Labyrinth
The Sea of Monsters
The Last Olympian
The Lost Hero


Andri Kurniawan's favorite books »