Coffee Girl

00:24

Jatuh cinta pada pandangan pertama itu konyol, hal itu yang tertanam di dalam benakku saat aku mencoba menelisik apa itu cinta. Bukankah kita harus mengetahui bebet, bobot, dan bibit dari seseorang itu dulu sebelum kita bisa benar-benar menaruh hati padanya? Lalu, mengapa ada hari penghujan di saat musim kemarau? Mengapa lahir awan kecil di langit cerah Kota Surabaya yang diasingkan oleh pantai dan lautan ini? Mengapa bisa kau curi hati dengan sekejap mata kita berjumpa untuk pertama kali? Kamu laksana kriminal yang melanggar peraturan hidup yang susah payah kurancang dan kupatuti, kamu laksana ombak yang menerjang runtuh kokohnya karang yang terbentuk atas dasar kekerasan hati dan pengalaman, kamu itu coklat yang mengeringkan dedaunan sebelum jatuh ke kaki bumi. Namun, tak dapat kupungkiri kalau semua itu memang indah.
Namun, tetap saja kamu itu licik bagai liuk tubuh seekor rubah mencari mangsa. Dan aku hanya mangsa yang mungkin bisa bersembunyi dari jarak pandangmu, namun sejauh apapun aku tak dapat lari dari sudut matamu. Keluar! Keluar kamu dari segala bentuk aktivitas dan kegiatan berpikirku! Jangan berpaling kepadaku dan biarkan sejenak kupandangi damai wajahmu, dari jauh, diam-diam, dan tanpa konfirmasi dari kedua belah pihak. Bermain mata memang asik, saat kamu fokus ke depan aku menatap, saat saling menatap aku berpura sibuk, dan saat aku fokus...aku tak tau apa yang kau lakukan. Namanya juga jatuh hati, ya pasti sakit.
“Wan, Awan!” Sialnya teman di belakangku, Doni, menyadari.
“Heh, apa Don?”
Autofocus mulu kau, aku salamin baru tau nanti!”
“Terserah deh, lagi menikmati ciptaan Tuhan Maha Asik nih.”
Indahnya mengikuti forum atau acara interaksi antar mahasiswa adalah bertemu dengan sepasang mata indah, apalagi jika ada penggabungan kelas, kesempatan itu bertambah. Dan benar saja, aku menemui sepasang mata yang menarikku ke dalam, lalu membuatku melakukan perjalanan melawan waktu dalam sebuah momentum dimana jarum jam sendiri berhenti berputar dan membuat orang yang sedang bepergian dari pikirannya terlihat bodoh.
Doni, kawanku, memang teman sejurusan gadis itu, dan sialnya mulutku sempat membuka untuk memberitahu bahwa aku jatuh hati padanya. Lelaki tampang parlente itu pun sempat menitipkan salam yang aku sendiri tidak pernah minta untuk ucapkan pada gadis itu saat Coffee Break. Namun, gadis itu hanya diam, gadis itu bermimik dingin, gadis itu membuat gempa episentris berskala besar di dalam denyut jantungku. Aku harus fokus, aku disini untuk membuka wawasan dan mengganti sudut pandang tentang bidang sosial masyarakat, batinku.
“Nama saya Awan, NRP 3113100501. Terima kasih atas kesampatan yang telah diberikan, saya hanya ingin menanyakan beberapa hal tentang tahap-tahap pengembangan masyarakat itu sendiri, Mas,” aku mengangkat tangan dan bergagasan untuk bertanya, mencoba aktif sudah kutanamkan di akalku sejak awal forum berlangsung.
Namun, forum tetaplah forum, semua orang memiliki kesempatan bertanya yang sama. “Nama saya Riri, NRP---” ucap gadis itu selagi menurunkan tangannya kembali ke atas buku memonya. Itulah yang indera pendengaranku tangkap sebelum memudar dan yang dapat kurasakan hanyalah lembut suaranya, serta indah parasnya yang kini sah-sah saja bila aku tertangkap menatap sinar matanya. Apa salah memperhatikan orang yang sedangn berbicara di forum? Sudah aturannya untuk satu suara, bukan?
Materi hari itu berakhir dan beberapa mahasiswa aktif yang terpilih ditugaskan untuk berangkat ke sebuah desa binaan, termasuk aku. Awalnya aku sedikit lega tidak melihat batang hidung gadis itu di kelompokku, mungkin karena sekarang aku dapat bernapas dengan lancar, tidak seperti saat menatapya dari jauh, diam-diam, dan masih dengan tanpa konfirmasi dari kedua belah pihak. Namun, siapa pernah duga, karena kekurangan orang dia pun turut maju dipanggil untuk berangkat. Dan hari itu belum berakhir ketika ternyata kami ditempatkan di angkutan umum yang sama untuk sampai ke desa binaan tersebut.
Terasa dingin, terasa kaku, terasa keringat mengalir di dalam pembuluh darah arteriku, ketika kali ini malah aku duduk lebih dekat denganmu. Hukum pancung saja aku, astaga dragon. Aku mencoba bersikap santai, untunglah garis muka datar dan tanpa ekspresiku dilahirkan  memang tidak untuk menunjukkan emosi yang berkelebat di jiwa. Aku kemudian mulai ikut bersenda gurau untuk setidaknya menghidupkan suasana, dan benar saja setidaknya aku bisa membuka topik pembicaraan dengan kawan-kawan lainnya. Sesekali aku mencoba bercanda, lalu kucuri sedikit pandang ke arahmu. Subhanallah, Tuhan, wajah biasanya yang tampak jutek saja sudah begitu indah, sekarang Kau biarkan aku melihatnya tersenyum dan tertawa kecil karenaku? Aku bersujud padaMu dalam batin.
Sesampainya di desa binaan kami disambut oleh para petinggi RW di desa tersebut, forum pun dilanjutkan dengan sesi tanya jawab langsung. Aku kembali mencoba memberikan pertanyaan ke forum untuk setidaknya dapat membuatmu menyadari kehadiranku saat ini. Dan benar saja sisa diskusi itu kuhabiskan dengan memperhatikanmu dari jauh, diam-diam, dan hingga bosan tanpa konfirmasi dari kedua belah pihak. Kamu seringkali mengayunkan kepalamu dengan melodi yang kamu ciptakan sendiri di dalam imajinasimu tanpa ada orang lain yang tau tempo dan ritmik yang kamu ikuti. Kamu menggambar semacam monster berperawakan besar, namun terlihat begitu lucu sekaligus rumit untuk kucerna di otak. Terkadang kamu melepas kacamata karena jenuh hanya untuk mengistirihatkan tulang hidungmu yang tampak pegal.
Sepanjang perjalanan kita kembali ke Ruang Forum yang dapat kupikirkan hanyalah, betapa aku telah menjadi stalker terhadap pribadimu. Perilaku anehmu yang untukku menarik, kebiasaan unikmu yang ternilai eksentrik, ditambah konsentrasimu yang sama sekali tak dapat diusik. Semuanya membuatku gila, kepribadianmu mengantarkan aku ke pintu gerbang dimensi hilang akal sampai titik ketidakwajaran yang belum pernah aku raih sebelumnya. Namun, aku ingin mencoba mendekatimu, berbicara empat mata denganmu, atau mungkin delapan mata karena kita sama-sama mengenakan kacamata. Dan saat kursi kosong di sampingmu itu terbuka, aku mencoba berbasa-basi untuk setidaknya melihat kamu benar-benar menatap kedua pupil mataku. Namun, apa daya Tuhan tak mengizinkan, kamu berpaling dan sesaat kemudian kita harus berpindah tempat. Hari itu kuakhiri dengan rasa penasaran, ingin tahu lebih dalam tentang apa yang kamu minati, ingin tahu apa memang kehadiranku mengusik ketenangan batinmu, dan ingin tahu apa setidaknya aku punya secercah harapan untuk benar-benar dapat berbicara denganmu.

Waktu malam kelopak mataku yang terlahir insomnia ini, kini kuhabiskan memikirkan apa yang sebenarnya ingin kusampaikan padamu, yang kuupayakan untuk sedikit mungkin mengusik emosimu. Kupikirkan cara untuk menyampaikan semuanya sebelum pikiran tentang quiz, laporan resume, dan tugas-tugas yang belum kusentuh mengganggu. Dan karena aku tak pernah percaya dengan adanya kebetulan, semua yang terjadi sudah ada garis berlalunya. Kutuliskan saja semua tentangmu, karena inilah caraku mengagumi, gadis yang membuatku jatuh hati.

You Might Also Like

0 Comments

Popular Posts

Try These

The Alchemist
Veronika Decides to Die
The Zahir
The Pilgrimage
Rhapsody
Niskala
Winter in Tokyo
Autumn in Paris
Summer in Seoul
Sunshine Becomes You
Spring in London
Madre: Kumpulan Cerita
Perahu Kertas
Supernova: Ksatria, Puteri, dan Bintang Jatuh
Filosofi Kopi: Kumpulan Cerita dan Prosa Satu Dekade
The Lightning Thief
The Battle of the Labyrinth
The Sea of Monsters
The Last Olympian
The Lost Hero


Andri Kurniawan's favorite books »