Northern Lights
09:39
Aku sudah berjalan kaki
selama satu jam lebih sekarang. Langit pun telah menunjukkan sisi lembayungnya,
namun yang dapat kulihat hanyalah deretan pepohonan yang tidak jauh berbeda
sejauh mata memandang. Aku seharusnya sudah sampai di Desa Drizzle sekarang,
namun belum satu rumah pun dapat kulihat. Jalanan yang hanya dibatasi oleh
dedaunan kering dan bekas jejak kereta bawaan yang melintas. Aku seperti
dibelenggu oleh pagar hidup berupa lebatnya pepohonan. Terkadang, suara
serangga musim panas terdengar bersahutan. Begitu tenang, namun begitu hidup.
"Apa yang harus
kulakukan sekarang?" tanyaku kepada diri sendiri, baru menyadari kalau aku
tersesat.
Aku mendengar suara air
mengalir, seperti sebuah sungai yang deras. Aku memutuskan untuk berhenti dan
minum, menyimpang dari jalan menuju tujuanku yang tak kunjung terlihat. Suara
air mengalir terdengar semakin deras, bahkan terlalu deras untuk sebuah sungai.
10 menit aku berjalan, disemangati angin sejuk yang membawa uap air. Deretan
pohon yang akhirnya membuka diri, menunjukkan sebuah air terjun yang indah
kepadaku, dan sepasang mata yang terlihat heran melihat kedatanganku.
Air terjun itu terlihat
begitu megah, seperti istana raja jaman batu dulu. Air mengalir deras seperti
air mata, begitu jernih sehingga ikan yang berenang melawan pun ikut terlihat
di dasar sungainya. Namun, indah air terjun itu tak mengalihkan perhatianku
dari satu sosok indah yang tak berhenti memandang ke arahku. Seorang gadis yang
tampak lugu, umurnya nampak tak jauh denganku. Rambutnya panjang berwarna
kuning pucat, dibelah pinggir dan diikat dengan pita putih di kedua ujungnya.
Tatapan kedua matanya yang berwarna biru langit begitu dalam, seperti
melontarkan anak panah yang dipenuhi bias warna, menembus mataku dan membunuh
satu denyut jantungku.
"Permisi, boleh aku
bertanya arah ke desa?" tanyaku kepada gadis itu, dengan pikiran yang
masih setengah berimajinasi.
"....Timur,"
jawabnya pelan.
Hari sudah hampir berganti
malam, aku memilih untuk langsung meneruskan perjalanan ke desa. Kuisyaratkan
terima kasih kepada gadis itu, kembali ke dalam hutan dan berlalri meneruskan
perjalanan. Ternyata aku ada di jalan yang benar sejak tadi, mungkin aku hanya
tidak tahan dengan pemandangan pepohonan yang tidak ada habisnya. Atau mungkin
ini takdirku untuk bertemu gadis itu.
"Gadis itu.. Aku lupa
menanyakan namanya," ucapku, menyadari betapa bodohnya tingkahku tadi.
Seorang gadis cantik,
tinggal sendiri di dekat air terjun, di tengah hutan. Pikiranku mulai kacau
dengan rasa jatuh cinta sekaligus rasa merinding. Aku memutuskan untuk
meninggalkan masalah ini untuk sementara.
Bulan sudah tiba di
singgasananya, saat aku tiba di rumah baruku. Sebuah desa kecil yang begitu
sepi, hanya berisikan beberapa rumah kayu yang sederhana. Masyarakatnya pun
hidup dengan bertukar barang dan makanan. Inilah hidup dalam ketenangan yang
aku cari.
Rumahku adalah
satu-satunya rumah yang terbuat dari kayu Birch, jenis kayu yang lebih terang
daripada kayu Oak, sehingga mudah ditemukan pada malam hari. Di dalam rumahku,
terdapat 3 ruangan. Ruang tamu yang cukup luas sehingga dapat sekaligus
digunakan sebagai dapur, kamar mandi yang hanya cukup memuat sebuah bak mandi
dan toilet, serta sebuah kamar tidur yang sederhana.
Kulemparkan tas punggungku
ke arah lantai kamar tidur, selagi aku melemparkan tubuhku ke arah tempat
tidur. Ini adalah sebuah hari yang panjang, namun aku tak dapat terlelap. Ya,
karena memikirkan gadis di air terjun itu.
Pagi sekali aku terbangun,
bersemangat akan kehidupan baru yang aku jalani. Setelah pindah dari rumahku
yang lama, ke sebuah desa kecil yang begitu tenang, aku tak menyesali
keputusanku sedikit pun. Aku makan sepotong roti pagi ini, potongan terakhir
yang aku punya setelah lama tersesat di hutan kemarin. Aku harus mencari
sesuatu untuk ditukar dengan warga desa nanti.
Pandanganku teralih pada
sebuah tongkat pancing yang terbuat dari rotan bambu, terduduk di pojok ruang
tamu. Aku teringat akan gadis itu, maksudku, tentang banyaknya ikan di sungai
air terjun itu. Terpikir olehku untuk pergi memancing sebelum matahari tinggi
nanti.
Matahari baru melepaskan
diri dari balik bukit, aku berjalan ke arah hutan membawa sebuah tongkat
pancing, sebuah keranjang kosong, dan sekaleng cacing yang telah aku cari
terlebih dulu untuk digunakan sebagai umpan nanti. Sesekali kereta bawaan
melintas, membuat jalan yang sudah sempit semakin sempit. Terkadang aku harus
memanjat pohon agar kereta bawaan itu dapat lewat. Entah bagaimana kalau ada
dua kereta yang berpapasan.
Deretan pepohonan mulai
menghilang di ujung pandanganku, percikan uap air membasahi tubuhku yang dingin
karena udara pagi. Mataku mencari, bukan sekawanan ikan untuk ditangkap, namun
satu sosok yang kuharap ada disini untuk menemani. Tak menemukan siapa-siapa,
aku pun mulai memancing. Mentari pagi sedikit menyengat, namun dingin hawa air
terjun menyejukkan kulitku. Hatiku terpaku dengan tenangnya suara air terjun.
"Bolehkah aku...duduk
disini?" suara seorang gadis membuatku terkejut. Sepasang mata yang aku
cari-cari sejak tadi, tepat berada di depan wajahku saat aku menoleh. Entah aku
harus terkejut atau harus terpana, namun mengingat sungai deras di belakangku,
aku memilih untuk terdiam dan menjawab.
"Bo-boleh," kataku
canggung. Lalu, gadis itu duduk di sampingku, memainkan jemari kakinya di dalam
dingin air sungai. Sedekat ini, dapat kulihat jelas wajahnya yang ceria.
Matanya pun sangat jernih, tak kutemukan beban dalam hatinya. Timbul gagasan
dari hatiku untuk menanyakan namanya. "Ah!"
"Waaa!" gadis
itu berteriak kecil, terkejut mendengarku.
Kami berdua terdiam sejenak
menatap satu sama lain. Wajah gadis itu menunjukkan ekspresi sangat lucu saat
dia terkejut, seperti ekspresi seorang bayi yang kehilangan permennya.
"Hehe, maaf. Boleh
aku tau namamu?" tanyaku kemudian.
"....Tidak
sopan," jawabnya berlagak cemberut."
Aku terdiam kembali dan
berpikir. Namun kali ini, tanpa teriakan yang mengejutkan saat aku sadar.
"Namaku Nix, Nix
Nocturne. Sekarang boleh aku tau namamu?" tanyaku kembali kepada gadis
itu.
"Namaku Iris
Aeroides, panggil saja aku Iris," balas gadis itu dengan sebuah senyuman
lebar, matanya tertutup dan kepalanya dimiringkan ke kanan. Ingin rasanya
kucubit kedua pipinya.
Iris, nama yang begitu
indah menggetarkan hatiku, nama seorang gadis yang terus berkeliaran di
pikiranku. Akhirnya aku dapatkan nama itu, nama yang bisa saja membuatku tidak
tidur setiap malam kalau gagal bertemu dengannya hari ini.
"Pelangiiiii!" teriak
Iris tiba-tiba. Kini giliran aku yang terkejut dan terdiam, aku hanya melihat
ke arah Iris menunjuk. Dapat kulihat sebuah pelangi membusur melewati puncak
air terjun. Melihat matahari yang sudah menjalani setengah perjalanannya,
mungkin itu penyebab fenomena indah ini. "Setiap tengah hari, jika tidak
hujan, aku selalu datang untuk melihat pelangi di sini," ucap Iris
kepadaku.
Aku terkagum melihat
pelangi di atas air terjun itu, namun otakku belum selesai memikirkan nama Iris
sejak tadi. Aku yakin aku terlihat seperti orang yang terkena amnesia sekarang.
"Pelangi..." ucap
Iris kembali, sekarang melihat ke arah sungai. Aku tetap terdiam, ikut melihat
ke arah sungai dengan heran.
"Arti namaku adalah
pelangi," jelas Iris kembali dengan ekspresi yang sama dengan saat dia
memberitahu namanya padaku.
Senyumannya lebih dari
indah, seperti pantulan bayangan pelangi di permukaan sungai tadi. Jelas saja arti
namanya pelangi, dia sendiri memang secantik pelangi.
"Ah! Ini sudah tengah
hari, aku harus segera pulang untuk menukar ikan-ikan ini," ucapku baru
menyadari matahari sudah tinggi.
"Baiklah, sampai
jumpa nanti," jawab Iris masih tersenyum padaku.
"Terima kasih sudah
menemaniku hari ini!" Teriakku sambil berlari membawa keranjang penuh ikan
dan masuk ke dalam hutan.
Iris mengatakan sampai jumpa nanti kepadaku, itu artinya dia
ingin aku kembali besok hari untuk menemuinya, wajahku memerah tanpa kusadari. Di
tengah perjalanan ke desa, pikiranku masih dipenuhi oleh semua tentang Iris.
Aku terus memikirkan apa dia benar-benar tinggal sendiri disana, namun aku
takut pertanyaanku malah menyinggung perasaannya.
Tiba di desa, aku pun menukar
semua ikanku dengan roti, sayuran, buah-buahan dan beberapa barang untuk
ditaruh di rumah, karena sebenarnya aku sendiri tidak terlalu suka memakan
ikan. Aku terhenti di depan sebuah
rumah, karena mataku tertarik oleh sebuah benda yang dipajang seorang
penjualnya. Sebuah pedang, sudah lama aku tidak memegang satu. Aku menyadari
penjual lelaki itu mulai memperhatikanku, dengan tatapan yang sama saat aku
menatap pedang itu. Lelaki itu berambut hitam dan sedikit berdiri, wanginya
seperti wangi besi yang ditempa panasnya api.
"Kau mau pedang besi
ini, kawan?" tanya lelaki itu, masih dengan tatapan yang sama.
"Maaf, tapi aku tidak
bisa menukarnya dengan apa-apa.”
"Bukan masalah, kau
tidak bisa menyembunyikan kemampuan berpedangmu dengan tangan seperti itu.
Bawalah saja."
Aku menaruh keranjang
penuh makanan yang kubawa di atas meja dagang lelaki itu, dan mulai menggenggam
pegangan pedang besi itu. Seperti sebuah nostalgia, memori yang tak terlalu
ingin kuingat kini berkeliaran di kepalaku.
"Hei,
bagaimana?" tanya lelaki itu menyadarkanku dari lamunan.
"Ini..seperti persis
dibuat untuk tanganku, bahannya ringan, namun tampak tahan lama. Ini karya yang
hebat."
"Tentu saja kawan,
itu buatanku," ucap lelaki itu dengan penuh percaya diri.
Agak lama aku
mengayun-ayunkan pedang itu, karena aku rindu sensasinya. Tetapi, lelaki itu
tampak terhibur melihatku memakai pedang buatannya, ekspresi wajahnya
menunjukkan rasa bangga.
"Baiklah, aku akan
bawa pulang ini. Terima kasih...."
"Caminus! Panggil
saja aku kalau kau butuh apapun," kata lelaki itu, meneruskan kalimatku.
"Terima kasih sekali
lagi, Caminus."
Aku berpamitan pada
Caminus untuk pulang ke rumahku, dia pun mengisyaratkan sampai jumpa. Wajah
Caminus tampak begitu bersemangat, aku sadar pedang ini bentuk kepercayaannya
pada kemampuanku. Aku pulang membawa 2 keranjang penuh makanan dan sebuah
pedang yg kuikatkan di pinggangku dalam sarungnya. Kubuka pintu rumahku,
menaruh semua barang di lantai kamar tamu, dan terduduk lelah di sofa.
"Huft.. Hari pertama
yang melelahkan, tapi setidaknya aku sudah berkenalan dengan beberapa orang di
desa. Beginilah seharusnya hidup," ujarku, menasihati diri sendiri.
Aku sangat kelelahan.
Kusenderkan kepalaku di bantalan sofa, tatapanku ke arah langit-langit ruang
tamu. Mataku mulai tak kuat membuka, aku membiarkan mimpi membawaku ke
dunianya.
"Hm? Jam berapa
ini?" aku terbangun lalu mengusap mataku.
"Ini sudah malam,
Nix!" kalimat yang diteriakkan untuk menjawab pertanyaanku sekaligus
benar-benar membuka kedua mata untuk melihat kehadiran Iris di depanku.
"I-Iris? Apa yang
kamu lakukan di rumahku?" tanyaku padanya terkejut, aku hampir saja
melompat ke belakang sofa.
"Kamu yang membiarkan
pintu rumahmu terbuka, aneh. Aku mengikutimu ke sini, kamu harusnya berterima
kasih karena aku telah menjagakan belanjaanmu," jawab Iris dengan eksprei
pura-pura cemberut, kemudian tersenyum memamerkan kedua matanya yang bulat dan
begitu indah.
Aku mengalihkan
pandanganku karena jantungku tidak kuat menerima betapa indahnya Iris dari
dekat, lalu aku terkejut melihat cairan merah di lantai.
"Iris! Apa itu?"
tanyaku terkejut, menunjuk ke arah cairan itu.
"Hehe, tadi aku
membawakan barang belanjaanmu masuk, tapi aku terpeleset dan akhirnya
menjatuhkan botol saus tomatmu."
Ekspresiku berubah menjadi
sedikit canggung. Ternyata Iris begitu ceroboh, namun sifat itu malah menambah
rasa kagumku pada dirinya. Semakin dalam aku mengenal Iris, semakin ingin aku
dekat dengannya.
"Maaf," ucap
Iris dengan mata yang berkaca-kaca.
"I-iya, sudah tidak
apa-apa, aku hanya sedang berpikir tadi," jawabku tersadar dari lamunanku,
baru menyadari kalau Iris hampir saja menangis.
Iris kembali tersenyum,
lalu kami membersihkan lantai yang terkena tumpahan saus tomat itu bersama.
Merasa lelah, kami pun kembali duduk di ruang tamu.
"Nix, apa itu yang
menempel di samping pinggangmu? Apa kamu tumbuh dan mengeluarkan ekor?" tanya
Iris kebingunan.
"Bukan Iris, ini
sebuah pedang besi," jawabku kepada pertanyaan aneh Iris, sambil
mengeluarkan pedang itu dari sarungnya. Ekspresiku kembali canggung.
Aku menceritakan tentang
pedang ini dan Caminus kepada Iris, Iris membalasnya dengan cerita tentang
fenomena pelangi, ekspresiku semakin canggung. Iris memang aneh, namun hal itu
membuatku semakin ingin menjadi bagian dari hidupnya. Selain itu, keanehannya
membuat dirinya semakin lucu.
"Ah!" selaku
tiba-tiba.
"Waaa! ....Nix,"
jawab Iris lagi-lagi terkejut.
"Maaf, hehe. Iris,
boleh aku bertanya? Apa kamu benar-benar tinggal sendiri di hutan itu?"
"Dulu aku tinggal
dengan seorang kakek, kakek itu yang menemukanku di hutan dan merawatku. Tapi,
kakek meninggal 3 tahun yang lalu, sekarang aku hanya tinggal dengan burung
peliharaanku."
Wajah Iris terlihat begitu
suram, berbeda dengan biasanya. Iris mungkin terlihat seperti anak-anak, namun
aku tahu dia pasti sangat mandiri. Tinggal sendiri itu tidak mudah, aku sendiri
pernah merasakannya.
"Iris, ini sudah
malam, pergilah tidur di kamarku. Besok aku akan mengantarkanmu ke rumah,"
kataku.
"Baiklah, mimpi
indah, Nix."
Aku antarkan Iris ke kamar
tidurku, lalu dia melemparkan sebuah senyum sebelum dia terlelap karena
kelelahan. Kututup pintu kamar dan berjalan kembali ke ruang tamu, menikmati
malam saat aku tak dapat tidur lagi. Aku memikirkan tentang Iris yang tidak
pernah tau apapun soal orang tuanya, lalu aku mengingat diriku sendiri yang
tumbuh tanpa sosok ayah. Ayahku wafat saat aku masih di kandungan, meninggalkan
ibuku dan aku untuk hidup sendiri.
Saat itu kami tinggal di
tengah sebuah padang salju bernama Gurun Glacier, karena dulu ayahku sendiri
tidak punya cukup uang untuk membeli lahan rumah di kota. Aku dan Ibu hidup
hanya dengan memancing ikan, mengumpulkan kayu bakar, dan berkebun pohon
flurtem. Flurtem adalah satu-satunya tanaman berbuah yang dapat tumbuh di
daerah dingin.
Burung hantu telah memulai
serenadanya, nampaknya sudah hampir tengah malam. Aku memutuskan untuk tidur
karena aku harus mengantarkan Iris pagi-pagi besok hari.
Aku terbangun oleh aroma
roti panggang yang dibalut wangi lembutnya telur. Aku melihat ke arah dapur dan
melihat Iris yang sedang memasak.
"Iris? Kamu bisa
memasak?" tanyaku sedikit kagum.
"Tentu saja bisa, aku
seorang perempuan, aneh," jawab Iris dengan ekspresi berlagak cemberut
andalannya.
"Hehe, maaf, aku
hanya penasaran."
"Baiklah, selamat
makan, Nix!" Iris memberikanku sepiring roti panggang telur yang
penampilannya membuatku semakin lapar karena belum makan dari kemarin siang.
"Baiklah! Selamat
makan!" jawabku penuh semangat.
Aku melahap habis 2 potong
roti panggang telur buatan Iris. Sudah lama aku tidak makan makanan selezat
ini, aku jadi teringat saat terakhir Ibu membelikan telur dari kota dan
memasakannya untukku. Masakan Iris sungguh luar biasa, membuat hatiku semakin
terpikat padanya. Terbayang kalau suatu hari aku dapat hidup dengannya, hidupku
pasti sempurna. Aku merasa malu karena imajinasiku sendiri.
"Nix, kenapa wajahmu
memerah? Apa masakanku kurang enak?" tanya Iris heran.
"Ti-tidak apa-apa!
Ini masakan terlezat yang pernah aku makan, Iris," jawabku sedikit
canggung.
"Baiklah, kalau
begitu makanlah lebih banyak lagi," Iris tersenyum melihatku menikmati
masakan buatannya. Makan masakan selezat ini, ditemani dengan senyum Iris,
mungkin adalah rasa yang paling indah yang pernah kurasakan di bumi ini.
"Iris, kamu sendiri
sarapan apa?"
"Oh, aku menemukan
banyak buah ini di keranjangmu, boleh aku memintanya?"
"Buah plum? Makanlah
sebanyak yang kamu mau."
Aku merasa bahagia melihat
Iris mengunyah buah plumnya, wajahnya tampak begitu ceria. Merasa kenyang, kami
pun bersiap untuk pergi ke rumah Iris di dalam hutan. Aku bawa pedang besi yang
diberikan Caminus, untuk berlatih di air terjun nanti pikirku.
"Iris, sejak kapan
kamu memakai tas punggung?" tanyaku heran melihatnya memakai tas kain yang
lebih besar daripada badannya.
"Oh, kamu lupa? Kamu
bilang aku boleh membawa sebanyak yang aku mau."
"Isinya buah plum
semua!" ucapku terkejut saat melihat isi tas punggung Iris.
Suara air terjun sudah
terdengar, aku sedikit lelah, namun Iris masih terlihat begitu bersemangat
sambil melahap plum-plumnya. Aku heran melihatnya tidak sedikit pun terlihat
letih membawa tas sebesar itu.
"Iris, apa kamu tidak
lelah membawa tas itu?" tanyaku kembali.
"Hah? Tas ini tidak
berat sama sekali."
"Benarkah?" Aku
mencoba mengangkat tas itu. "Eh? Isinya kosong? Kamu makan berapa
banyak?"
Iris hanya tersenyum
lebar, sementara ekspresiku canggung seperti biasa. Tak terasa, bersama Iris,
aku telah sampai di air terjun.
"Nix,
pelangiiiii!" teriak Iris girang.
"Iya iya, kamu tidak
harus berteriak di telingaku."
Iris duduk terdiam di
pinggir sungai menatapi pelangi itu, aku bisa melihat matanya memantulkan
berbagai cahaya warna. Aku duduk di sampingnya untuk beristirahat.
"Nix, kenapa kamu
tidak pernah tersenyum?" tanya Iris tiba-tiba.
"Hmm...kamu
benar-benar mau tau kenapa?"
Iris mengangguk pelan,
mengalihkan pandangannya ke arahku.
"Karena...aku
terlihat seperti orang cacat mental saat aku tersenyum," jawabku mengelak.
Iris menahan tawanya dan memukul badanku pelan.
Dulu, sewaktu aku masih
kecil, Ibu selalu menunjukkan sebuah memento yang diberikan Ayah saat aku
menangis. Seketika melihat memento itu aku akan berhenti menangis dan tertidur
dengan sebuah senyuman. Memento itu sendiri terbuat dari emas, dengan mata batu
lapiz lazuli berwarna biru menyala. Memento itu didapat Ayah secara
turun-temurun, sekarang masih tersimpan di rumahku yang lama. Namun, aku belum
dapat mengambilnya kembali hingga sekarang.
"Passu passu!" tiba-tiba
terdengar suara seekor burung ketakutan.
"Iris,
berlindung!" peringatku melihat seekor burung Passerem terbang cepat ke
arah kami.
"Tidak apa-apa Nix,
ini temanku, Passu," ucap Iris membiarkan burung itu bertengger di
lengannya.
Passerem adalah sejenis
burung yang mirip gagak, bulunya berwarna hitam, namun ukuran tubuhnya 2 kali
lebih besar. Korona matanya berwarna merah terang, membuat mereka mudah ditemukan
pada malam hari. Yang paling khas dari seekor Passerem adalah ujung sayap
mereka yang berwarna-warni.
"Ada apa, Passu? Kenapa
kamu terbang terburu-buru?" tanya Iris heran.
"Raaarrrrr,"
seekor Lupus datang berlari cepat dari dalam hutan menyusul Passu, nampaknya
itulah yang membuat Passu takut.
Lupus adalah hewan berkaki
empat yang mirip dengan seekor serigala. Warna kulitnya hitam, coklat, atau
putih. Ciri khas Lupus adalah wajahnya yang mirip dengan seekor kelelawar,
Lupus juga merupakan hewan nokturnal dan hidup berkelompok.
"Apa yang dilakukan
seekor Lupus sendirian disini pada siang hari?" tanyaku panik. Nampaknya
Passu terbang dari tempat yang jauh dan membawa Lupus ini kemari. Latihan
pedangku pun nampaknya akan datang lebih cepat.
Aku teringat kejadian 9
tahun lalu, saat aku masih berumur 13 tahun. Aku dan Ibu baru saja pulang
sehabis memancing ikan, namun yang kami temukan adalah sekelompok Lupus yang
menyerang rumah kami untuk mencari makanan. Ibuku menyuruhku untuk lari ke Kota
Kamanu, karena aku belum bisa apa-apa. Ibu pun menahan lupus-lupus itu
sementara aku hanya bisa berlari menuruti perintah Ibu. Aku tidak menoleh ke
belakang sekali pun, dan semenjak saat aku tidak pernah melihat Ibu lagi.
Aku mengeluarkan pedangku
dari sarungnya, mencoba menghindari cakar dan taring Lupus yang sangat tajam
sambil menyerang sisi samping tubuhnya. Jika dia menerkam tiba-tiba habislah
aku. Namun, Lupus itu begitu lincah, aku hanya dapat melukai beberapa bagian
tubuhnya karena aku juga masih ketakutan. Aku kira inilah akhir hidupku, saat
Lupus itu sudah siap menerkam, lalu tiba-tiba sebuah bola cahaya putih terbang melintas
lalu menghantam lupus itu. Lupus itu pun berlari kembali jauh ke dalam hutan.
"Iris? Aku tidak tahu
kalau kamu bisa menggunakan sihir," ucapku terkejut.
"Kakek yang
mengajarkanku dulu. Tapi Nix, kamu begitu pandai dengan pedang, dari mana kamu
belajar?" balas Iris.
"Aku pernah menjadi
seorang ksatria istana untuk beberapa tahun, dari sanalah aku belajar seni
berpedang."
2 tahun kemudian setelah
kehilangan Ibu dan kemudian tinggal di sebuah panti asuhan, aku memutuskan untuk
bergabung dengan pasukan Istana Paltina di Kota Kamanu. Di sana, setiap hari
aku habiskan untuk berlatih pedang, berharap aku dapat melindungi diriku sendiri
dan orang lain suatu hari nanti. Namun, sebuah istana memang bukan tempatku.
Akhirnya, setahun yang lalu aku
memutuskan untuk pergi hidup bebas dan berpetualang, sampai akhirnya
menemukan rumah di desa ini untuk ditinggali.
"Nix, kau tidak apa-apa?"
tanya Iris, khawatir melihatku.
"Iya, mari kita
teruskan perjalanan ke rumahmu dan beristirahat."
Iris melambaikan selamat
tinggal pada pelangi kesayangannya, Passu pun ikut berkicau ke arah pelangi.
Kami masuk kembali ke arah hutan sebelah selatan, menyeberangi sungai lewat jembatan
kayu. Tidak jauh masuk ke dalam hutan, kami pun tiba di rumah Iris. Rumahnya
tersusun oleh kayu yang tampak begitu tua dan kokoh. Dinding luarnya di cat
berwarna-warni tak beraturan dengan apapun yang bisa ditemukan di hutan. Di
atapnya berdiri sebuah cerobong asap, melihatnya saja sudah membuat badanku
hangat.
"Ta-da! Bagaimana
menurutmu?" tanya Iris menunjukkan rumahnya.
"Errr....unik....sekali?"
jawabku canggung, sambil berjalan memasuki rumah.
Bagian dalam rumah Iris terlihat
begitu berbeda. Semuanya tertata rapi dan beraroma menenangkan. Ukuran rumah
Iris tidak terlalu besar, namun masih lebih luas daripada rumahku, karena Iris
punya 2 kamar tidur dan ruang makan yang terpisah.
"Semua lantai dan
dinding bagian dalam, dibuat dari kayu mahoni. Kakek menyukai warnanya yang
coklat kemerahan. Jadi Kakek melarangku mengecat bagian dalam, hanya bagian
luar saja yang boleh," jelas Iris padaku sambil memberi makan Passu.
Aku pun terduduk lelah di
ruang tamu Iris, sementara Iris membuat sesuatu di dapur. Kakek Iris pasti
adalah orang yang baik dan lembut, aku yakin dari seleranya memilih kayu
mahoni.
"Minumlah dulu, teh
ini bagus untuk menghilangkan lelah," ucap Iris datang membawakan dua
cangkir teh.
"Teh apa ini
Iris?"
"Ini teh moondrop,
tanaman yang hanya tumbuh saat bulan purnama."
Aku menikmati secangkir
teh bersama Iris, teh langka beraroma lezat yang Iris siapkan hanya untukku. Kupikir
belum pernah aku mengenal orang sebaik Iris, selain Ibuku tentunya, mungkin
Kakek itu yang mengajarkannya kepada Iris.
"Hey, Iris. Sebenarnya,
seperti apa kakekmu itu?" tanyaku penasaran.
"Kakek adalah orang yang
baik dan lembut. Walaupun hidupnya susah, namun dia mau merawatku di sini.
Bagiku, Kakek dan Passu sudah seperti keluarga, walaupun aku belum pernah tau
rasanya memiliki keluarga."
"....Keluarga, ya?"
tanyaku tanpa sadar saat berpikir.
Aku teringat tentang kerja
keras Ayah dan semangat hidup Ibu, tapi aku sadar aku tak pernah berbuat apa
pun untuk mereka. Aku hanya dapat hidup dan terus berlari meninggalkan mereka.
Aku rindu akan keluarga, andai ada yang bisa aku lakukan, setidaknya untuk bisa
mengenang Ibuku. Lalu, aku teringat akan memento itu. Memento lapiz lazuli peninggalan
turun temurun Ayah yang masih tersimpan di dalam rumah lamaku di Gurun Glacier.
Aku harus mendapatkannya kembali, atau aku lebih baik mati dimakan lupus-lupus
itu, tekadku sudah bulat.
"Nix, kau tidak
apa-apa? Apa kau lelah?" Tanya Iris, menyadarkanku dari renungan.
"Tidak apa-apa, Iris.
Aku hanya teringat akan keluargaku," jawabku pelan.
"Kau bisa ceritakan
segalanya padaku, Nix," balas Iris, tersenyum hangat.
Aku ceritakan semuanya ke
Iris saat itu. Mulai dari saat aku hidup susah, lari dari keluargaku, bekerja
sebagai ksatria di istana, hingga akhirnya pindah ke sini. Tak terasa, malam pun
tiba.
"Iris, kamu tampak
mengantuk, pergilah tidur. Maaf aku sudah bercerita terlalu lama hingga kamu
terjaga hingga larut malam seperti ini," kataku, melihat Iris yang sudah
setengah sadar.
"Hm, baiklah. Tidak
apa-apa, aku senang bisa lebih mengenalmu. Mimpi indah, Nix, jangan tidur
terlalu malam."
Aku mengangguk dan pergi
mengantarkan Iris ke dalam kamarnya. Lalu, saat Iris telah tertidur, aku pergi
meninggalkan rumahnya.
"Maaf, Iris, mungkin
aku tak akan bisa kembali. Tapi, ini satu-satunya hal yang bisa aku lakukan.
Untuk mengenang keluargaku, untuk menebus dosa-dosaku," ucapku dalam hati.
Di tengah sunyinya malam,
aku pun berangkat menuju Kota Kamanu, di mana aku berlatih dan bekerja di Istana
Paltina beberapa tahun lalu. Aku memutuskan untuk beristirahat di kemah
prajurit, mudah saja, karena mereka semua masih mengenalku.
Fajar menjemput,
kuteruskan perjalanan menuju gerbang utara Kamanu. Jika aku berjalan lurus ke
tenggara dari gerbang ini, aku yakin aku bisa menemukan rumahku yg lama, itu
pun kalau masih berdiri. Aku pun bergegas menuju Gurun Glacier. Suhu dingin
merasuki langkahku yang berat di padang salju. Aku tidak lagi terbiasa dengan
cuaca di sini, namun aku harus tetap berjalan. Kulihat bayangan gubuk kayu yang
dikerumuni sekelompok lupus dari balik badai salju, aku sudah menduga hal ini
akan terjadi. Rumahku telah menjadi sarang lupus.
Di luar rumah, terlihat 6
ekor Lupus tertidur pulas. Keputusanku untuk datang di pagi hari memang tepat,
aku tau mereka hewan nokturnal. Kelemahan lupus ada di bagian atas kepalanya,
aku harus menyelinap dari balik badai salju dan membunuh mereka satu per satu. Aku
berjalan perlahan, mengikuti suara angin badai salju agar mereka tidak
mendengar langkahku atau mencium aroma tubuhku. Satu lupus mati di tanganku, tanpa
suara. Gerakan hati-hati memang membutuhkan waktu yang lama, namun aku berhasil
membunuh 2 ekor lupus lagi dengan cara ini.
Hingga lupus keempat, aku melihat
ada sesuatu yang berbeda. Lupus berkulit hitam dan matanya yang terluka
sebelah, lupus yang menerkam Ibu saat terakhir aku melihatnya. Dalam
keragu-raguanku, lupus itu terjaga, kemudian membangunkan 2 ekor kawanannya.
"Inilah takdirku,
untuk Ibu, untuk keluargaku," aku berdoa di dalam hati.
Aku memainkan pedang
secara cepat, walau langkahku dalam tebalnya salju terhambat, aku mencoba
menghindari cengkraman lupus-lupus itu. Aku berhasil menahan mereka selama
beberapa saat, hingga akhirnya aku kelelahan dan terjatuh, aku kira inilah
akhirnya. Lupus hitam itu mencengkramku, menahan kedua tanganku di tanah dengan
kuat. Tatapan matanya begitu tajam, tak bisa kurasakan rasa kasihan padanya.
Aku diam, aku bisa saja mati, namun melawan hanya akan menghabiskan sisa tenaga
yang kupunya. Tiba-tiba, sebuah bola cahaya putih terbang menghantam seluruh
lupus itu, mereka semua terlempar dan membebaskanku dari kepungan.
"Iris! Apa yang kamu
lakukan di sini?" tanyaku terkejut.
"Tentu saja
menyelamatkan nyawamu, aneh," jawab Iris dengan wajah pura-pura
cemberutnya lalu tertawa. "Kalau kamu rindu keluarga sampai begini, kamu
anggap aku siapa?"
"Sudahlah dulu
bertengkarnya, kita masih punya musuh yang ancamanya nyata," sela Caminus
menyindir, keluar dari bukit tempat Ia bersembunyi sejak tadi, membawa sebuah busur
dan beberapa anak panah.
Aku langsung mengangkat
pedangku kembali dan berlari ke arah lupus hitam itu, kali ini tanpa keraguan
karena aku tau Iris dan Caminus menjagaku dari belakang. Sekali lagi takdirku,
untuk Ibu, untuk keluargaku. Bukan hanya keluarga yang berhubungan darah,
melainkan mereka semua yang rela peduli pada hidupku.
Iris dan Caminus tampak
dengan mudah mengatasi 2 lupus lainnya. Aku tau aku pun harus berhasil. Aku melakukan
gerak berputar, mengecoh lupus hitam yang mencoba mencengkram, lalu melompat
dan menusuknya tepat di bagian kepala. Inilah takdir yang telah kupenuhi.
"Iris, bagaimana kamu
bisa menemukanku di sini tepat waktu?" tanyaku heran, melanjutkan
perbincangan tadi.
"Passu melihatmu
keluar dari rumah dan kemudian membangunkanku, lalu aku pergi mencari orang
yang kamu ceritakan kemarin, Caminus. Dan juga aku merasa ini satu-satunya
tempat yang akan kamu datangi, jadi kami pergi menyusulmu bersama."
"Terima kasih, Iris,
Caminus...."
"Passu passu!" sela
passu.
"...dan juga Passu,
kalian telah menyelamatkan hidupku," ucapku.
"Lewatkan saja ucapan
resminya, ambillah hal penting yang kamu cari dulu," balas Caminus.
Aku langsung berlari ke
dalam rumah dan membuka laci di bawah tempat tidur. Di bawah tumpukan buku yang
dilapisi debu, di situlah dia, memento keluargaku. Aku menggenggam batu lapiz lazuli
itu dengan erat dan membawanya kembali keluar.
"Nix, apa itu?"
tanya Iris menunjuk ke arah langit, bersama Caminus dan Passu yang juga bingung
mengadah ke langit.
Kumpulan gelombang cahaya
menari-nari di atmosfer, warnanya berubah-ubah setiap beberapa detik. Kadang
hijau, biru muda, kuning, bahkan merah seperti api. Menghiasi langit gelap
padang salju Gurun Glacier dengan kami sebagai saksi.
"Itu cahaya utara,
Iris. Cahaya aurora," jawabku, ikut terpaku menatap langit.
Aku duduk berdua
menyaksikan aurora bersama Iris, aku dapat melihat matanya yang penuh warna,
sama seperti saat dia menyaksikan pelangi.
"Nix!" Teriak
Iris tiba-tiba menoleh ke arahku.
"Wah! Kenapa
Iris?" Aku terkejut.
"Kamu tadi tersenyum,
hehe," ucap Iris dengan ekspresi yang sama saat Ia memberitahu namanya
kepadaku pertama kali.
"Benarkah begitu?
Hehe, aku tidak menyadarinya."
Senyum Iris begitu indah,
membawakan kedamaian ke dalam hidupku, dan membuatku dapat tersenyum kembali.
Iris memberiku sebuah makna baru tentang keluarga hari ini.
"Iris, apa yang
paling kamu inginkan di dunia ini?" tanyaku pelan kepada Iris.
"Aku ingin tetap
melihat pelangi setiap hari, tapi hanya bersamamu, Nix," Iris tersenyum
menutup matanya, kemudian membukanya lagi dengan ekspresi polos. "Kalau
Nix? Apa yang paling kamu inginkan sekarang?"
"Aku ingin...sebuah
keluarga, bersamamu, Iris," jawabku, mengelus wajah lembutnya yang dihiasi
sebuah senyuman. Sebuah senyuman yang akan kulindungi dengan hidupku mulai
detik ini.
3 Comments
awwwww so sweet~
BalasHapuswkwk mau dong jadi si nix..gpp deh jd lesbong yg penting bisa dpt si iris XD
kukira si caminus bakal jadi pihak ketiga diantara mereka,ternyata enggak ya :-| <<<tipe manusia yang menyukai konflik
bagus ndri,mantap. 10 out of 10
Autis lu no, kebanyakan nonton sinetron cinta segitiga :|
BalasHapusawalnya sih aku mau bikin konflik si caminusnya jatuh cinta sama si nix, tapi ga jadi nanti jadi aib :|
apah,caminus ama nix?? sial,itu justru jauh lebih baik...
BalasHapusbikin sekuelnya ndri,endingnya yg menegangkan ye :P