In
Oneshot,
Coffee Girl
Jatuh
cinta pada pandangan pertama itu konyol, hal itu yang tertanam di dalam benakku
saat aku mencoba menelisik apa itu cinta. Bukankah kita harus mengetahui bebet,
bobot, dan bibit dari seseorang itu dulu sebelum kita bisa benar-benar menaruh
hati padanya? Lalu, mengapa ada hari penghujan di saat musim kemarau? Mengapa
lahir awan kecil di langit cerah Kota Surabaya yang diasingkan oleh pantai dan
lautan ini? Mengapa bisa kau curi hati dengan sekejap mata kita berjumpa untuk
pertama kali? Kamu laksana kriminal yang melanggar peraturan hidup yang susah
payah kurancang dan kupatuti, kamu laksana ombak yang menerjang runtuh kokohnya
karang yang terbentuk atas dasar kekerasan hati dan pengalaman, kamu itu coklat
yang mengeringkan dedaunan sebelum jatuh ke kaki bumi. Namun, tak dapat
kupungkiri kalau semua itu memang indah.
Namun,
tetap saja kamu itu licik bagai liuk tubuh seekor rubah mencari mangsa. Dan aku
hanya mangsa yang mungkin bisa bersembunyi dari jarak pandangmu, namun sejauh
apapun aku tak dapat lari dari sudut matamu. Keluar! Keluar kamu dari segala
bentuk aktivitas dan kegiatan berpikirku! Jangan berpaling kepadaku dan biarkan
sejenak kupandangi damai wajahmu, dari jauh, diam-diam, dan tanpa konfirmasi
dari kedua belah pihak. Bermain mata memang asik, saat kamu fokus ke depan aku
menatap, saat saling menatap aku berpura sibuk, dan saat aku fokus...aku tak
tau apa yang kau lakukan. Namanya juga jatuh hati, ya pasti sakit.
“Wan,
Awan!” Sialnya teman di belakangku, Doni, menyadari.
“Heh,
apa Don?”
“Autofocus mulu kau, aku salamin baru tau
nanti!”
“Terserah
deh, lagi menikmati ciptaan Tuhan Maha Asik nih.”
Indahnya
mengikuti forum atau acara interaksi antar mahasiswa adalah bertemu dengan
sepasang mata indah, apalagi jika ada penggabungan kelas, kesempatan itu
bertambah. Dan benar saja, aku menemui sepasang mata yang menarikku ke dalam,
lalu membuatku melakukan perjalanan melawan waktu dalam sebuah momentum dimana
jarum jam sendiri berhenti berputar dan membuat orang yang sedang bepergian
dari pikirannya terlihat bodoh.
Doni,
kawanku, memang teman sejurusan gadis itu, dan sialnya mulutku sempat membuka
untuk memberitahu bahwa aku jatuh hati padanya. Lelaki tampang parlente itu pun
sempat menitipkan salam yang aku sendiri tidak pernah minta untuk ucapkan pada
gadis itu saat Coffee Break. Namun,
gadis itu hanya diam, gadis itu bermimik dingin, gadis itu membuat gempa
episentris berskala besar di dalam denyut jantungku. Aku harus fokus, aku
disini untuk membuka wawasan dan mengganti sudut pandang tentang bidang sosial
masyarakat, batinku.