Change You
21:01
Dingin angin mulai merasuki tubuh Hazen,
seharusnya ia tidak pergi ke sekolah sepagi ini. Namun, ia sudah bertekad untuk
mengumpulkan cerita yang ia tulis untuk lomba yang diadakan Klub Literatur
walaupun seharusnya sudah terlambat. Hazen mengambil langkah-langkah kecil
sambil mempersiapkan kata-kata agar mereka mau menerima cerita yang ia tulis.
Melihat tanda klub yang dicari, jantung Hazen berdegup kencang. Ia mengambil
napas panjang.
"Permisi, ini klub literatur,
bukan?" Hazen akhirnya memberanikan diri untuk masuk.
"Bukan, ini klub memanah," jawab
seorang lelaki yang sedang duduk di belakang meja kerjanya. "Kamu bisa
membaca tanda di depan, tidak?"
"Err..." Hazen hanya bisa diam
dibuatnya.
"Will!" Kini suara seorang
perempuan muncul dari ruang belakang. "Berapa kali harus aku kasih tau? Be polite!"
Hazen masih diam berdiri, menyaksikan
lelaki tadi dimarahi. Tak butuh waktu lama sampai ia menyadari bahwa gadis itu
menarik. Hazen hilang dalam imajinasinya, berpikir tentang indahnya ciptaan
Tuhan yang sedang berada di hadapannya.
"Maaf soal tadi. Jadi, kamu mau
apa?" Gadis itu akhirnya selesai.
"A-aku kesini mau ngumpulin
ini." Ia kembali ke alam sadarnya dan mulai merapikan berkasnya. "Ini
cerita yang aku tulis. Aku tau ini terlambat, tapi boleh kan aku kumpulin
sekarang? Masih pagi juga, kan?"
"Okay,
no problem," jawab gadis itu lalu mengambil berkas dari tangan Hazen
dan mulai membacanya. "Hazen Arche, salam kenal! I have to go now, consider it
done."
"O-oke makasih, salam kenal
juga," jawab Hazen terbata.
Gadis itu kembali ke ruangannya di
belakang sambil membawa berkas Hazen. Hazen ditinggalkan bahkan tanpa tahu nama
gadis itu. Butuh beberapa saat sampai ia menyadari kehadiran lelaki yang tadi
mengejeknya.
"Will, bukan?" Kali ini ia
menyadari pertanyaan bodohnya, cepat-cepat ia melanjutkan. "Siapa cewek
tadi?"
"Serius, kamu nggak tau dia? Well,
dia Lyn, ketua klub literatur ini," Hazen kembali ditinggalkan, namun kali
ini ia tertegun.
Lonceng sekolah berdentang, Hazen terpaksa
angkat kaki dari klub literatur menuju kelasnya. Setidaknya sekarang ia tahu
nama gadis itu, pikirnya.
Waktu sekolah serasa cepat berlalu dengan
gadis itu masih memenuhi pikiran Hazen. Sebelum ia sempat sadar, lonceng
sekolah sudah berdentang dua kali menandakan kelas kini usai. Hazen, mencoba
menjernihkan pikirannya dengan memutuskan untuk pergi ke tempat favoritnya.
Di taman, di sebuah bangku kayu tepat di
sebelah pohon apel besar, Hazen duduk dan mengeluarkan buku catatannya. Dia
akan mulai menulis cerita-cerita romansa atau fantasi karena hanya itu yang ia
bisa. Punya banyak waktu luang setelah sekolah, ia bahkan tak bisa ingat berapa
kali ia sudah pergi kesini. Sekarang, merasa terinspirasi, dia duduk disana
lebih lama dari biasanya.
Tak sadar lama menulis, matahari sudah mulai
tenggelam dan malam hampir tiba. Tepat sebelum Hazen ingin pergi, ia melihat
seorang gadis berjaket kuning melintas.
"Lyn!" Hazen memanggil namanya
tanpa pikir panjang. Melepas headphone
yang ia pakai, gadis itu berhenti dan kemudian mendatanginya.
Hazen hanya bisa diam dan mulai meragukan
keputusannya tadi. Kenapa ia memanggil gadis itu? Lyn ingat atau tidak saja, ia
tidak yakin.
"Oh, tunggu. Kamu..." Wajah
Hazen berubah cerah.
"Aku Hazen, Hazen Arche dari kelas
2-C. K-kita barusan ketemu."
"Oh iya, Hazen!" Kini ekspresi
Lyn yang berubah sama cerah. "Maaf tadi aku lupa ngasih tau namaku. Namaku
Lynette, Lyn for short. Tapi, bagus
deh kalau kamu udah tau."
"Oke, santai aja," jawab Hazen setengah
tertawa sambil melepas tegang. "Omong-omong, aku juga minta maaf sudah ngeganggu,
aku cuman pengen pastiin tadi itu kamu.”
"It's
okay, I have time to spare," sangkal Lyn cepat.
Hazen menyingkirkan tas punggungnya dari
bangku kayu agar Lyn dapat duduk di sampingnya. Mereka berbincang layaknya
teman yang sudah lama terpisah. Gadis itu selalu menyambung pembicaraan, itu
membuat Hazen semakin tertarik dan semakin ingin mengenalnya.
"Jadi kamu selalu kesini pulang
sekolah?" Lyn tertawa kecil, melihat Hazen masih memegang buku catatannya.
"But your writing sure is an another
thing, though. Kenapa nggak gabung klub literatur?"
"Aku bukan orang yang suka sibuk.
Maaf ya, bukannya aku nggak mau ikut." Siapa juga yang tidak ingin dekat
dengan presiden klubnya, sambungnya dalam hati.
"It's
cool," Lyn kembali tertawa dan kali ini Hazen tak bisa menahan diri untuk
ikut tertawa.
Hazen terlarut mendengarkan cerita-cerita
Lyn. Tanpa mereka sadari, cahaya bulan pun mulai menggantikan jingga mentari
yang menerangi waktu bersama mereka. Lyn akhirnya melirik jam tangannya dan
kemudian berhenti berbicara.
"Maaf, jadi nyita waktumu," ucap
Hazen sambil menggaruk kepalanya yang bahkan tidak gatal.
"It's
perfectly fine. Aku senang bisa bicara sama kamu, Hazen. Stop being sorry like that," jawab
Lyn tertawa kecil.
"Tapi..." Hazen berpikir keras
sebelum melanjutkan kalimatnya. "Nggak aman loh cewek pulang sendirian
malam begini. Mau aku antar pulang?"
"Kamu cuman pengen tau dimana
rumahku, don't you?" Ada keheningan disana yang mengisi dinginnya
malam, dan keduanya mulai merasuki rusuk Hazen. Tapi kemudian, Lyn kembali
tertawa. "Boleh kok, I was only
kidding."
Sinar bulan tampak semakin indah, udara
yang tadi dingin berubah hangat dan memikat saat Hazen berjalan di samping
gadis itu. Perjalanan dengan kaki ke rumah Lyn berubah menjadi perjalanan
tercepat yang pernah ia tempuh. Tak lama rasanya, mereka sudah sampai di depan
rumah Lyn.
"Jadi, sampai nanti, Lyn," Hazen
melambaikan tangannya.
"See
you tomorrow! Thanks udah nganterin pulang!" Lyn menjawab
dengan gerakan sama sambil memasuki rumahnya.
Lyn bergegas menuju kamarnya, menutup
rapat pintunya sebelum melompat ke ranjang. Ia menenggelamkan wajahnya ke
bantal, tidak mengerti apa yang baru saja terjadi. Kemudian ia bangun untuk
melepas dan menggantung jaket kuningnya, serta mengambil selembar handuk untuk
pergi mandi.
"Am I in love?" Lyn
bertanya pada dirinya sendiri seraya percikan air hangat menghantami kepalanya
. "Well, aku memang ngerasa nyaman sama dia."
Lyn keluar dari kamar mandi dan kemudian
memakai baju tidur bermotif tikus warna kuning. Dia mematikan lampu walau ia
tidak yakin ia akan mampu tertidur. Lalu, ia melihat bulan purnama di luar
jendela, bulan yang sama dengan yang sedang dilihat Hazen.
"Apa ini cinta?" Pertanyaan itu
menggema di pikiran keduanya, larut bersama malam yang semakin menua.
Hari esok tiba selamban mereka dapat
mengesampingkan satu sama lain dari pikiran masing-masing. Lyn memulai
aktivitasnya, langsung pergi ke ruangan klub literatur. Dia mengarsipkan
berkas-berkas dan kemudian menyusun folder-foldernya ke lemari, seperti tiada
kesalahan yang boleh terjadi dalam pengawasannya.
"Hari ini nggak banyak kerjaan,
tumben," Lyn yang heran, akhirnya hanya bisa bertanya kepada diri sendiri.
Kemudian ia memutuskan untuk berjalan
keliling sekolah karena kelas baru akan dimulai satu jam lagi. Lyn berhenti ketika
melihat seseorang di taman sekolah, seseorang yang ia tak mungkin salah kenal,
seseorang yang tidak lelahnya berlarian di pikirannya semalaman. Ia melihat
Hazen yang sedang duduk bersandar di batang sebuah pohon douglas fir sambil
menutup wajahnya dengan buku catatan. Lyn pun pergi mendekatinya tanpa pikir
panjang.
"Kebakaraaaan!" Lyn berteriak di
dekat telinga kanan Hazen.
"Aku nggak lagi tidur, Lyn,"
Hazen cepat-cepat menutup telinganya. Kemudian, ia menyingkirkan buku catatan
dari wajahnya. "Aku cuman lagi nggak ada kerjaan dan nggak ada ide."
"Oh, kirain," ekspresi wajah Lyn
berubah masam. "Terus ngapain disini?"
"Aku nggak bisa tidur semalam, jadi
langsung ke sekolah," jawab Hazen sambil menepuk-nepuk tempat kosong di
sebelahnya. "Menikmati pagi aja."
"Menikmati pagi?" tanya Lyn lalu
mengambil posisi duduk di sebelah Hazen.
"Ya, menikmati aja. Kicauan burung,
nyanyian jangkrik, sejuknya embun, hangatnya matahari terbit dan masih banyak
lagi," jawab Hazen tertawa kecil melihat anggukan kepala Lyn. "Pokoknya
menikmati apa yang bisa dinikmati hari ini."
Lyn hanya terus mengangguk karena ia tidak
mengerti sama sekali apa yang Hazen bicarakan.
"Jaman sekarang, semua orang selalu
sibuk sama urusan mereka masing-masing," Hazen menambahkan sebelum Lyn
sempat membuka mulut. "Banyak yang sudah lupa kalau dunia ini indah,
bahkan sekarang banyak tangan yang maunya cuman ngerusakin. Aku cuman berharap
mereka bisa duduk sebentar dan menikmati hari, supaya mereka sadar kalau dunia
ini pantas untuk dirawat."
"Aku.." Lyn sedikit tersentak
untuk menjawab. "Aku nggak pernah sadar soal itu."
"Kamu lihat langit deh," Hazen
menunjuk ke atas dan Lyn pun ikut mendongak. "Setiap hari mereka berubah,
awan yang disana sekarang bisa aja udah pernah keliling dunia. Menurutku itu
keren, menakjubkan."
"Kamu kok bisa kepikiran sih?"
tanya Lyn kembali semakin heran.
"Karena aku punya banyak waktu
luang," jawab Hazen singkat. "Aku punya banyak waktu buat mikir
tentang segala hal yang aku suka."
"Seperti kamu.." Hazen tidak tau
kenapa ia menambahkan kalimat itu. Namun, karena terlanjur diucapkan, ia
memutuskan untuk meneruskan. "Aku sampai nggak bisa tidur mikirin kamu
semalam."
"Se-seriously?"
Lyn hanya bisa bertanya terbata.
Ia bisa merasakan wajahnya mulai memerah.
Namun, ia hanya duduk disana sampai lonceng sekolah berdentang. Lyn pun
langsung bangkit dan mengisyaratkan sampai jumpa, sebelum pergi ke kelasnya
meninggalkan Hazen.
Hazen mulai mengemasi buku-bukunya yang
bahkan tak ia gunakan, sepanjang hari ia hanya bisa menyesali kalimat yang ia
ucapkan tadi. Apakah ia terlalu cepat mengatakannya? Ia berjalan keluar ruangan
kelas untuk pergi ke tempat favoritnya. Saat melintas di depan ruangan klub
literatur, ia sempat ingin singgah untuk sekedar menyapa Lyn. Namun, semua
niatnya ia urungkan pada akhirnya. Hazen tiba dan ia langsung menempati
singgasananya, sebuah bangku kayu di sebelah pohon apel besar. Ia mulai menulis.
Walaupun suasana hatinya sedang kacau, ia merasa terinspirasi. Ia hanya bisa
menulis, atas semua kecemasan dan kebingungan yang ia alami.
“Hazen,” ucap seseorang yang suaranya
tidak mungkin Hazen salah kenali. Ia mulai mendongak untuk melihat wajah
sepasang kaki yang baru saja datang.
“Lyn? K-kamu ngapain kesini? Bukannya
masih ngurusin klub?” Hazen memperbaiki posisi duduknya dan mulai menyingkirkan
tasnya dari bangku.
“Kamu tau nggak sih ini jam berapa?” Lyn
bertanya balik, lalu mulai duduk. “Ini udah jam 6 sore, Hazen. Ngapain aku
masih di sekolah jam segini?”
“Oh..” Hazen hanya bisa memeriksa jam
tangannya sendiri untuk memastikan perkataan Lyn. “Sorry, aku keasikan nulis nih.”
Lyn mengambil buku catatan Hazen dari
tangannya dan mulai membaca. “Kamu tau, aku cuman pengen bilang kalau aku
percaya nggak ada kata terlalu cepat atau terlalu lambat,” Hazen kini duduk di
ujung bangku walau tak berani menatap mata Lyn.
“When
something happens, it just happens. I like you too, Hazen,” ucap Lyn sambil
tersenyum. Senyuman yang memaksa Hazen menoleh dan ikut bahagia karenanya.
“Tapi, aku nggak mau itu ngerubah kita, aku senang kalau kita kayak gini.”
“Yah, padahal aku mengharapkan sesuatu
yang lebih,” balas Hazen yang mulai bisa melepas ketegangannya. Lalu, mereka
berdua mulai melepas tawa.
Hari ini hari Sabtu dan hari ini tidak
akan jadi seperti hari biasanya. Hari ini Hazen tidak akan duduk seharian di
bangku taman untuk menulis. Hari ini ia akan pergi ke pusat perbelanjaan untuk
bersenang-senang, dan kali ini ditemani Lyn. Waktu-waktu bersama mereka terasa
begitu indah, Hazen merasa ia tidak akan lagi lengkap jika tidak bersama Lyn.
Waktu yang dijanjikan pun tiba, Hazen menunggu di dekat sebuah air mancur. Tak
lama, Lyn datang dengan mengenakan baju terusan panjang tanpa lengan berwarna
coklat muda. Tidak salah lagi ia akan terlihat lebih cantik dari biasanya,
pikir Hazen.
“Kamu keliatan lebih ganteng kalau pakai
kemeja,” sapa Lyn sambil tertawa kecil. “Selain kemeja seragam sekolah
tentunya.”
“Coba muter,” balas Hazen singkat.
“B-buat apa?” tanya Lyn terkejut heran.
“Muter aja,” jawab Hazen masih sama
singkat.
Lyn pun berputar mengikuti permintaan
Hazen. Rok panjangnya mulai mengembang bagai bunga yang sedang mekar,
memperlihatkan sepasang sepatu selop putihnya. Sampai ia selesai berputar,
Hazen hanya bisa diam terpana.
“Ke-kenapa?” tanya Lyn kembali.
“Nggak kenapa kenapa, cantik aja.”
“Oh..” Lyn dapat merasakan wajahnya
memerah lagi. “A-anyway, kamu ngajak aku kesini? Aku nggak nyangka kamu
suka tempat-tempat ramai.”
“Siapa bilang aku suka tempat-tempat
ramai?” balas Hazen cepat, lalu mengulurkan tangannya ke arah Lyn. Lyn sedikit sungkan,
namun akhirnya terpaksa menerimanya.
Mereka berjalan menyusuri kota, ke sebuah cafe yang sudah terlebih dahulu Hazen
pilih. Cafe yang tidak terlalu penuh,
namun memiliki aroma kopi dan kayumanis yang menenangkan, serta suasana rumah
yang tidak kalah nyaman.
“Aku belum pernah kesini,” aku Lyn, lalu
duduk di kursi yang sudah disiapkan Hazen. “Aku bahkan nggak nyangka ada cafe disini.”
“Itulah hebatnya aku,” balas Hazen selagi
berjalan, lalu duduk di kursinya. “Jadi, suka nih tempatnya? Aku sering kesini
kalau lagi males nulis, hitung-hitung mendinginkan otak.”
Lyn tertawa mendengar ucapan Hazen. “Iya,
iya, aku suka. Nggak nyangka aja tujuan utamamu ternyata ngajak aku kesini.”
“Siapa bilang ini tujuan utamanya?” tanya
Hazen membuat heran, lalu memanggil pelayan untuk memesan makan.
Lyn menyantap sepiring Chocolate Souffle dengan penuh rasa
penasaran, kemana Hazen akan membawanya setelah ini? Namun, melihat wajah Hazen
yang sedang menyeruput kopi membawa ketenangan tersendiri di hatinya. Seakan orang
yang ada di depannya itu adalah jawaban dari semua kelelahan dan kesendirian
yang selalu ia rasakan, seakan Hazen berbeda dari orang-orang lain yang pernah
menyatakan cinta padanya.
“Lyn?” panggil Hazen menyadarkannya. “Siap
pergi lagi gak nih?”
“I-iya? Mau kemana lagi?”
“Ikut aja pokoknya, nggak jauh kok.”
Beberapa blok dari cafe tadi, mereka
menyusuri jalan setapak yang menyelinap di tingginya gedung-gedung pusat
perbelanjaan. Jalan ini berujung di sebuah tangga yang membawa mereka turun ke
sebuah balkoni besar bekas sebuah bangunan di dekat sebuah tanjakan yang
sedikit curam. Lyn dapat melihat sekolah mereka dari atas sana. Hazen mengajak
Lyn berdiri di dekat tepi.
“M-maaf, aku takut ketinggian,” ucap Lyn
melangkah pelan menuju tepi balkoni.
“Kamu lihat itu deh,” ucap Hazen sambil
menunjuk ke arah taman yang sering mereka datangi setiap pulang sekolah. “Aku
sering kesini kalau lagi libur. Yah, anggap aja kayak tempat merenung.”
“Tapi, kamu kok bisa ketemu tempat kayak
gini sih?” tanya Lyn dengan pandangan yang masih belum lepas dari pemandangan
kota. Tidak mendengar adanya jawaban, ia pun menoleh ke arah Hazen.
Lyn sedikit terlompat karena terkejut
melihat setangkai bunga mawar yang kini ada di hadapannya. Ia hanya bisa
menerima bunga yang dihias rapi dengan pita biru muda itu tanpa bisa memberikan
komentar. Hatinya terlalu luluh untuk bisa mengeluarkan kata-kata, akhirnya air
mata pun yang mengalir turun mewakili.
“Jangan nangis dong. Ya, aku minta maaf
kalau bunganya cuman satu, susah ngumpetinnya,” ucap Hazen sambil mendongakkan
wajahnya ke wajah Lyn yang tertunduk.Ia pun mulai tertawa.
“Hazen, nggak lucu tau,” jawab Lyn memukul
pelan pundak Hazen. “I-ini dalam rangka apa coba?”
“Hm...” Hazen mulai menerawang langit
sambil memegangi dagunya. “Dalam rangka apa ya? Dalam rangka aku pengen bisa
sebebas dan sebahagia ini setiap hari, mungkin. Aku pengen bisa ngabisin sisa
hidupku ngerasa kayak gini.”
Hazen bisa melihat ekspresi Lyn berubah,
dan ia yakin ia tak suka ekspresi itu. Ia melihat wajah Lyn tegang dan ia bisa
merasakan ada yang salah. Apakah itu karena sesuatu yang tadi ia ucapkan? Hazen
hanya bisa diam menunggu Lyn kembali berbicara.
“Aku mau pulang.” Hanya itu kata-kata yang
terucap dari mulut Lyn.
“Ke-kenapa?” tanya Hazen gugup. Namun,
jawaban yang ia dengar hanyalah suara dedaunan yang dibawa angin menghantam
bumi. “Ya udah, mau aku anter—“
“Nggak, nggak usah. Makasih ya bunganya,”
jawab Lyn kemudian berjalan pergi meninggalkan Hazen.
Lagi-lagi, Hazen tak dapat mengerti apa
yang salah dan ia ditinggalkan karenanya. Bahkan waktu yang ia habiskan untuk
berpikir tidak akan cukup untuk bisa menemukan jawaban atas semua pertanyaan di
kepalanya. Lyn adalah perempuan yang sangat tidak gampang untuk dibaca, namun
itu juga yang membuat Hazen tertarik. Ia memutuskan membiarkan Lyn pergi untuk
kali ini, dan kembali menikmati langit yang menyatu dengan ujung jalanan kota.
Pagi sekali Lyn sudah berjalan ke luar
rumah mengenakan jaket kuningnya, ia melakukan pemanasan sebelum pergi
melintasi rute rutinnya. Hari ini hari Sabtu dan itu berarti sudah seminggu ia
tidak bertemu dengan Hazen. Sebenarnya bisa saja bertemu, namun ia memilih
untuk pergi setiap kali melihat Hazen dari kejauhan.
Pagi ini, entah kenapa ia merasa ia ingin
melihat Hazen di taman seperti biasanya. Ia berjalan mengelilingi taman,
berputar agak jauh agar tidak ketahuan, namun ia tidak melihat siapa-siapa saat
berhenti di depan bangku yang selalu Hazen duduki tersebut.
“Kamu lagi nyari siapa?” tanya seseorang
dari belakang Lyn. Lyn pun menoleh setengah terkejut.
“Ha-Hazen!” jawab Lyn kali ini sepenuhnya
terkejut.
“Jangan teriakkin namaku kayak aku baru
mati kemaren terus kamu lagi liat hantuku sekarang, please.” Hazen berjalan melewati Lyn dan mulai duduk di
singgasananya. “Kayaknya kamu punya hutang beberapa penjelasan sama aku. Duduk.”
“A-Aku..” Lyn yang bingung terpaksa
menurut untuk ikut duduk pada akhirnya. “Aku cuman belum bisa percaya
kata-katamu. Kamu ngucapinnya kayak ngejelasin hari-harimu, kamu anggap gampang
dan terus berjalan sesukamu.”
“Aku cuman suka menikmati hari, aku nggak
pernah bilang hari-hariku sempurna. Apa? Kamu anggap aku nggak punya masalah?”
jawab Hazen sedikit membentak.
Lyn hanya berdiri diam di sana, dan Hazen
mulai menyadari perkataannya. Namun, Lyn tau betul laki-laki itu tak akan diam
tanpa melakukan sesuatu. Dan benar saja, ia langsung merasakan hangat tangan
Hazen merengkuh jemarinya.
“Ikut aku,” ajak Hazen singkat.
“M-mau kemana? Dan lagian, sekarang?”
tanya Lyn heran.
“Oh, maaf aku lupa.” Hazen pun melepas
genggaman tangannya. “Ganti baju dulu, aku tungguin.”
“Apa? Kamu serius?”
“Aku keliatan bercanda?” Lyn bisa
merasakan Hazen mulai kehabisan kesabaran. “Believe
me.”
Lyn pun terpaksa pulang dan mengganti baju
untuk mengikuti Hazen entah kemana, namun ia ingin memberikan kesempatan kepada
Hazen. Ia ingin bisa mempercayai Hazen seutuhnya, dan mungkin inilah caranya.
Mereka sudah berada di dalam kereta, namun
Hazen masih belum memberitahu kemana ia akan membawa Lyn pergi. Sepanjang jalan
Lyn hanya melihat Hazen memandang keluar jendela, itu membuatnya kehabisan
kata-kata sekaligus keberanian untuk mengajak bicara.
“Kita mau kemana, Hazen?” tanya Lyn
akhirnya memberanikan diri.
“Tidur aja dulu, masih agak lama,” jawab
Hazen masih ingin membuat Lyn penasaran.
Karena bosan dengan jawaban yang tak
kunjung didapat, dan karena ia memang lelah akibat lari pagi tadi. Akhirnya,
Lyn memilih untuk tidur sampai mereka tiba di tujuan mereka.
"Hey, bangun, udah sampai nih." Hazen
menggenggam tangan Lyn lagi, kali ini agar ia benar-benar terjaga.
"A-amusement
park?" Lyn kembali terkejut oleh apa yang Hazen bawakan di hadapannya.
“Kita mau ngapain disini?”
Hazen hanya diam sambil terus menuntun
langkah Lyn, mereka akhirnya masuk ke dalam taman bermain. Namun, Lyn sudah
tidak bisa menahan diri karena ditarik kesana kemari. Akhirnya ia memaksa Hazen
untuk berhenti sejenak.
“Dulu, papaku selalu bilang kalau taman
bermain ini nggak lebih dari sebuah tipuan. Maskot-maskotnya cuman manusia
dalam kostum, wahananya dibangun dengan batas aman jadi kamu nggak perlu
teriak, dan bangunan-bangunannya bahkan nggak sepenuhnya fungsional,” ucap Lyn
sambil mulai duduk mengistirahatkan diri. “Jadi, kita mau apa kesini?”
“Wow, wow cukup. Papamu nggak asik banget
ya?” tanya Hazen lalu mulai duduk di sebelahnya. “Kamu bakal tau, tapi kamu
harus pakai ini.”
“Kain? Buat apa?” tanya Lyn makin merasa
heran melihat benda yang dipegang Hazen.
“Bikin baju. Ya enggaklah,” jawab Hazen
sambil mengikat kain hitam itu menutupi mata Lyn. “It’ll be a surprise.”
“Hazen? Seriously?” tanya Lyn kembali dengan mata sudah tertutup, suaranya
terdengar sedikit curiga.
“Udah, percaya sama aku.” Hazen menuntun
Lyn berdiri dan kemudian berjalan pergi.
Cukup jauh Hazen menuntun langkah Lyn
melewati taman bermain, kaki Lyn bahkan mulai terasa sedikit pegal karena ia
baru saja olahraga tadi pagi. Setelah beberapa menit berjalan, akhirnya Hazen menuntun
Lyn untuk duduk di sebuah kursi.
“Sekarang boleh kubuka?” Lyn baru saja
duduk, namun ia belum berhenti bertanya.
“Sebentar,” jawab Hazen terdengar menunggu
sesuatu. “Oke, sekarang boleh.”
Lyn membuka kain penutup matanya sebelum
ia mendengar bunyi mesin dan gerigi-gerigi yang mulai berputar. Lyn menyadari
walaupun sekarang ia bisa melihat dan bisa duduk tenang, ia sangat tidak ingin
melakukannya disini. Hazen telah membawa Lyn ke dalam sebuah viewing tower dimana pengunjung diajak
untuk melihat taman dari ketinggian.
“Hazen! Kenapa kamu bawa aku kesini! Kamu
kan tau aku takut ketinggian!” protes Lyn setengah berteriak dan badannya mulai
gemetar.
“Lyn, malu dong, di belakang banyak orang
loh.” Hazen menaruh jari telunjuk kanan di bibirnya, menyuruh Lyn untuk diam.
“Kan kamu sendiri yang bilang ini aman dan kita nggak perlu teriak-teriak
tadi.”
“Tapi kan aku takut ketinggian! Kamu tau
sendiri kalau—“
Lyn terkejut seketika mendapati tangan
Hazen merangkul erat tubuhnya, dan sekejap itu pula badannya berhenti bergetar.
Ia bisa merasakan kehangatan tangan Hazen melebihi kaos sweater yang sedang ia kenakan. Ia bisa merasakan Hazen lebih dari
apapun yang pernah ia rasakan.
“Sekarang kamu lihat deh,” ajak Hazen
sambil menunjuk ke arah luar kaca jendela, disana jingga mentari sudah mulai
menyelam dan melarut dalam biru lautan luas. “Kadang apa yang kita takutkan,
juga bisa membawa sesuatu yang indah, bukan?”
Lyn hanya bisa memandang keluar, ia mulai
menyadari semuanya. Ia bisa menikmati hari ini, seperti yang Hazen selalu
lakukan. Ia bisa merasakan langit senja seperti memanggil namanya, agar ia ikut
terus mengagumi keindahan dunia yang ia tidak sadari selama ini. Lynlette,
seorang gadis yang tak mudah percaya akan apapun, kini telah belajar
mempercayai seseorang.
“Lyn,” panggil Hazen lalu menyentuh hidung
Lyn. Ia tersadar dari lamunannya dan wajahnya langsung berubah merah.
“Kamu pernah bilang kalau kamu nggak bisa
percaya kata-kata yang aku ucapin,” sambung Hazen. “Well, these words don’t love you. I’m the one who do, Lynette.”
0 Comments