Langitmu
02:52
Setiap hari, pada jam yang sama, kamu akan mulai berjalan
menyimpang dari jalan setapak yang menghubungkan sekolah dan rumahmu. Menuruni
bukit dengan langkah-langkah kecil namun cepat, seakan sudah mafhum dengan
setiap bagian dari tempat itu. Melompati bebatuan, menghindari tanah yang curam, atau merunduk saat dedaunan
mulai menutupimu.
Lalu, kamu akan mulai berbaring di atasnya luasnya
rerumputan, memandang ke arahku dengan sepasang mata
yang hampa sambil sesekali
mengernyitkan dahi. Entah bingung hendak berbuat apa atau tak yakin apa yang
selama ini kamu lakukan disini. Seragam SMA yang kamu kenakan juga sudah
menguning, bernasib sama seperti seragam-seragam sekolah yang kamu kenakan
sebelumnya. Dan aku tau, karena aku selalu memperhatikanmu.
Kemudian kamu akan duduk menghadap barisan pepohonan
rimbun yang memenuhi bumi dengan hijau. Sebelum mengeluarkan buku harianmu dan
mulai menulis. Menuliskan apa saja yang dapat kamu tuliskan tentang hari itu,
tentang masa lalumu, atau bahkan tentangku. Ekspresi wajahmu akan terus berubah
seiring bagian yang sedang kamu tuliskan. Senyum manis, tawa lepas, alis yang
hampir bertaut, atau bahkan air mata. Ya, kamu memang gampang sekali menangis,
kentara masa lalumu selalu bisa melarutkanmu dalam kesedihan. Namun, itu bukan berarti kamu adalah lelaki yang lemah. Masa lalumu
memang bukanlah memori yang menyenangkan, tetapi itulah alasan yang membuatmu
menjadi pribadi yang kuat. Kamu bertahan, dan itulah hal yang paling hebat yang
pernah kamu lakukan.
Sesekali kamu lepaskan penamu dari genggaman, melempar
tatapan dari buku harianmu kembali ke arahku. Namun begitu, tanganmu tidak
berhenti bergerak. Memegangi dagu, menggaruki atas kepala, atau sesekali
memainkan daun telingamu. Lalu dalam sekejap, kamu akan kembali berbaring,
kedua tangan terlipat di belakang kepalamu. Seakan tau kapan harus bersantai
dan kapan harus bekerja sepenuh hati. Kamu tak seperti orang-orang berlagak
sibuk yang bahkan tak punya lagi waktu untuk menikmati hari, mengetuk-ngetukkan
kaki mereka ke lantai sebab mereka tak dapat diam. Waktu mereka teramat
berharga bahkan hanya untuk duduk dan berpikir, tetapi kamu tau yang
sebenarnya. Bahwa, waktu yang dihabiskan untuk berpikir dan berlogika tidaklah
akan terbuang percuma. Kamu berbeda dan kamu bangga akan hal itu, hal yang membuat pribadimu sungguh
luar biasa di mataku.
Sesekali kamu akan memejamkan kedua matamu, yang
barangkali sudah lelah menghadapi kekonyolan yang hidup telah berikan. Karena
kemudian kamu akan mulai tersenyum sendiri, seakan teringat cobaan-cobaan berat
yang telah menimpamu, dan melangkah lebih jauh lagi ke dalam kegelapan yang
telah menjurumuskanmu. Walaupun kamu tak pernah tau apa yang ada di ujung
terowongan itu adalah cahaya atau hanya lampu dari kereta yang akan melintas.
Kamu telah lelah berharap, karena pada akhirnya harapan-harapan besarmu hanya
akan membebanimu, memperberat nasib yang mematahkan segalanya yang tidak
menekuk. Mungkin kamu telah lupa kapan terakhir kali kamu merasa berani, karena
yang terpancar dari dalam dirimu kini hanya kegelisahan. Namun, itu bukan
berarti kamu tidak diberikan cinta dan pengampunan, seperti saat buta dan dapat
melihat lagi. Aku berikan harapan baru bagimu dari atas sini, yang akan meniup
keraguanmu dalam hidup.
Sesekali kamu angkat kedua tanganmu ke udara, untuk
merasakan sekali lagi lembutnya belaian angin yang aku kirimkan. Rambutmu akan
mulai berantakan, yang barangkali tidak seberantakan hidupmu, namun itu adalah
tipe berantakan yang indah. Lalu, kamu akan mulai menguap, namun kamu tidak akan
pernah mulai tertidur. Hangatnya sore tidak akan pernah membuatmu bosan, karena
kamu seperti terlahir untuk melakukan ini, menikmati hari yang mungkin tidak
akan datang lagi. Dan saat kamu membuka mata aku masih akan ada di sini,
menggeser awan-awan agar selalu meneduhkanmu, atau barangkali menggelapkan diri
agar tidak menyilaukan matamu. Karena hanya inilah yang dapat aku lakukan
untukmu sekarang, hanya hal-hal kecil yang mungkin tak berarti, tapi aku tau
jika ada satu orang yang akan mengerti, orang itu adalah kamu.
Sesekali kamu akan menutupi matamu dengan sebelah
lenganmu, entah bersembunyi dari masa depan yang siap menjemputmu atau hanya
sedang menutupi kesedihan yang tak lagi dapat kamu tanggung sendiri. Namun, aku
tau kamu hanya butuh waktu untuk dapat bangkit lagi, bahkan saat kamu jatuh
terpuruk dengan wajah duluan menghantam ke tanah. Kamu sudah mengerti bahwa
terjatuh itu adalah kecelakaan yang normal, namun segera bangkit kembali dari
jatuhmu mungkin adalah hal tersulit yang dapat kamu pelajari, yang mungkin
dapat memakan waktumu seumur hidup jika kamu tidak ingin mengerti soal hal-hal
kecil seperti itu.
Sesekali kamu akan mengeluarkan ponselmu, mungkin
berharap kalau-kalau ada pesan singkat yang masuk. Sesekali aku akan menangkap
senyum di sudut bibirmu saat kamu membaca di layar terpa, mungkin kamu sudah
menemukan seseorang yang spesial di hatimu. Entah kapan kamu mulai tertarik
dengan lawan jenis, namun hal itu tentu tidak mengejutkanmu. Aku ingin
melihatmu pergi dan bebas, dan itu tidak harus terbang ke tempatku. Kamu bisa
saja berjalan pergi dari bukit ini bersama seseorang itu, seseorang yang aku
harap dapat menggantikanku untuk dapat berada di sampingmu ke depannya.
Seseorang yang tidak akan meninggalkanmu saat kamu tidak mampu melihatnya pergi
secepat itu. Seseorang yang cintanya aku harap dapat mengalahkan cintamu
padaku.
Sesekali kamu akan mengerjapkan mata, seakan kamu kembali
ke malam itu, saat lampu depan mobil membutakanmu. Namun, kala itu aku masih
dapat mendekapmu, melindungimu dari kerasnya benturan dari kendaraan yang
melaju ke arahmu, walau kenyataan yang kamu hadapi sekarang mungkin lebih berat
ketimbang kenyataan bahwa aku telah pergi duluan meninggalkanmu dan seisi
dunia. Tepat di jalan ini, jalan yang seharusnya kita lewati bersama setiap
selepasnya kamu dari sekolah. Namun, kini kamu malah berbaring di sini,
menatapku seakan aku harus menyesali semua perbuatan yang telah aku lakukan
meskipun dengan niatan yang baik. Meninggalkanmu tetaplah sesuatu yang
seharusnya tak akan pernah bisa aku berhenti sesali.
“Ibu,” panggilmu dengan suara bak seorang malaikat kecil.
Tak berdosa dan tanpa satu pun kebencian pada dunia.
“Ya, Nak?” balasku pelan, seakan mencoba menyembunyikan
pancaran kebahagiaan karena aku telah memilikimu, walau aku tau
menyembunyikannya pun tidak ada gunanya.
“Aku tadi nulis cerita di kelas,” ucapmu sambil berlari duluan ke depan,
sebelum membalikkan tubuhmu sambil terus berjalan ke belakang agar terus dapat
bercerita padaku. Kamu bertingkah seperti anak burung yang baru belajar untuk
terbang, mencoba menggambarkan ceritamu dengan segala gerakan yang bisa kamu
peragakan. Seakan kamu tau bahwa kata-kata saja tidak akan pernah cukup untuk
bisa menggambarkan seberapa berartinya ceritamu.
Kemudian, hal itu berlangsung begitu cepat, secepat malam
yang telah turun tanpa kita sadari di sepanjang jalan. Suara klakson mobil yang
melintas terdengar seperti suara surgawi yang terus memanggilku saat itu. Dan
aku harus menarik tanganmu dengan seluruh tenagaku, agar pada akhirnya kamulah
yang harus menanggung semua beban ini, bukannya aku. Aku yang tidak akan bisa
hidup tanpamu.
Kemudian, kamu akan tersadar dari lamunanmu, dengan
ekspresi penuh sebal, seakan yang kita ingat-ingat barusan adalah kejadian yang
sama. Kamu tampak seperti ingin memberitahuku untuk tidak boleh merasa
bersalah, membuatku bingung dengan jalan pikiranmu. Namun, hal itu membuatku
tenang, bahwa keegoisanku tidak serta-merta turun kepadamu. Mungkin kini kamu
sudah lebih dewasa dari aku, lebih dewasa dari orang-orang seumuranmu. Hal itu
tentu membuatmu merasa berbeda, namun aku akan tetap merasa bangga. Karena
pendirianmu akan menjadi sekuat baja, tak akan mudah runtuh dan dapat
beradaptasi dengan kenyataan.
Saat matahari mulai meninggalkan singgasananya, kamu akan
mulai bangkit untuk mencari suara yang mungkin telah lama memanggil-manggil
namamu. Kamu akan berlari-lari kecil menaiki bukit itu kembali ke jalan untuk
bertemu dengannya. Dia yang kamu panggil Ayah, seseorang yang cintaku
terhadapnya tak kalah besar daripada terhadapmu. Kamu akan mulai tertunduk malu
mendengar ocehannya, seperti itu bukanlah hal yang sehari-hari terjadi. Dan aku
bersyukur bahwa kamu masih mau mendengarkannya, bahkan saat aku tidak lagi ada
di sana untuk menengahi kalian berdua.
“Nak, kamu kok seharian disini?” tanya ayahmu penuh
kekhawatiran, seperti luapan ekspresi yang membuatku jatuh cinta padanya dulu.
“Cuman lagi pengen nulis, Yah,” jawabmu singkat. Berharap bahwa dia akan mengerti apa
yang ingin kamu sampaikan tanpa harus benar-benar mengatakannya.
Dan jawabannya pun mungkin juga mengejutkanmu, ayahmu
tersenyum seakan itu adalah alasan paling logis yang pernah dia dengar. Matanya
terlihat berkaca-kaca, atau mungkin mataku yang berkaca-kaca, diterpa cahaya
kuning-keemasan senja. Oleh karenanya, kamu tak kuasa untuk mulai tersenyum
juga.
“Yaudah, kalau sudah memang minatmu, Ayah
nggak mau ngelarang,” ucap ayahmu
tegas, seakan berharap dirinya juga bisa setegas itu dengan perasaan yang
membanjiri hatinya.
“Makasih, Yah.” Kamu bergerak maju untuk mendekapnya, dan kalian akan saling
berpelukan di bawah langit yang semakin menua, menunggu datangnya dingin malam
yang akan segera menyerbu.
Aku hanya bisa berucap dengan satu bahasa yang aku
sekarang kenali, bahasa yang bisa menyampaikan sejuta maksudku tanpa harus
dapat mengucapkan satu kata pun. Bahasa yang membawa kamu ke tempat ini, bahkan
jika tempat ini hanya membawa kenangan-kenangan terburuk yang mungkin saja
membuat kamu terpuruk dan tak berdaya menjalani kehidupan. Namun, bahasa
perasaan yang kulirihkan menyampaikan pesanku untukmu. Tetaplah hidup seperti
hari kemarin hanyalah mimpi buruk dan khayalan yang tak pernah terjadi.
Bahwa setiap kali kamu menggumamkan pelan namaku di
tengah-tengah tangismu, mengucapkannya berulang kali bak mantra yang dapat
mengembalikan aku kembali ke dunia, meneriakannya lantang ke langit seakan
menentang keputusan ilahi yang telah tanpa persetujuan mengambilku darimu, Aku
ada. Di setiap cahaya matahari pagi yang membangunkanmu dari tidurmu, di setiap
awan mendung yang menghujanimu dengan rahmat tak terkira, di setiap angin yang
menghaburkan rambutmu dan memecah keheningan, serta di ketinggian langit dimana
kamu gantungkan cita-citamu, Aku ada. Di hatimu, di hati ayahmu, dan dari
segenap rindu yang kalian kirimkan tanpa tujuan, Aku ada.
Dan kamu akan mulai menatap langit senja dengan mata
penuh harap, seakan menerima pesanku dengan sempurna. Memberitahumu tanpa perlu
mengucapkan kata-kata, memandangimu tanpa perlu menatap, menemuimu tanpa perlu
hadir, dan mencintaimu tanpa perlu khawatir. Karena senyummu sendiri telah
menghapuskan kekhawatiran itu, kekhawatiran yang tidak lagi harus aku bawa ke
hari esok yang tak pasti, karena mungkin saja aku tidak akan bisa melihatmu
lagi. Namun kini, aku akan pergi seiring matahari yang tenggelam ditelan bumi,
dikalahkan malam yang melelahkan dan melenyapkan.
Mengikuti langkah ayahmu, kamu akan berjalan mengikuti
bayangan yang semakin panjang, tidak lagi takut kalau-kalau kegelapan itu akan menerkammu
saat kamu tidak terjaga. Membawamu kembali ke titik awal saat kesedihan dan
keputusasaan akan menelanmu. Membiarkan usaha kerasmu untuk menjalani hidup
yang kini telah sepenuhnya aku titipkan menjadi sia-sia. Namun sekarang, kamu
sendiri mengerti bahwa di setiap langkah yang kamu ambil, di setiap nafas yang
kamu hembuskan, dan di setiap larik doa yang kamu
kirimkan, Aku ada.
0 Comments