Malam Sebelum Senja
13:28
Bulan mendaki semakin tinggi dan bukit
itu pun semakin sunyi. Riri kembali merapatkan jaketnya, walau tidak mengubah
dinginnya angin malam itu. Ia duduk bersandar di atas kap mobil, matanya tak
henti melirik jam di tangan. Ya Tuhan, pukul 11, ini sudah kelewatan. Ia
membuang kaleng minumannya, ia tidak pernah suka susu sapi murni, tapi pria itu
malah selalu membelikannya. Kini, ia hanya bisa membuang pandangan ke jalanan
aspal yang tidak berujung, dengan lamunan yang membuat matanya tidak fokus, sama
seperti apa yang telah dilakukannya lebih dari 1 jam terakhir.
“Mengucapkan permintaan pada bintang
jatuh itu konyol, bukannya sudah terlambat berjuta-juta tahun?” Riri menoleh ke
arah datangnya suara, matanya menatap punggung lelaki yang daritadi ia temani.
“Bintang jatuh itu bintang yang sudah mati, bukan?”
“Mm-hmm,” sahut Riri sambil
menerka-nerka apa isi pikiran lelaki itu. Untuk beberapa saat suasana kembali
hening, Riri tidak mencoba menutupinya karena ia tahu berapa bait kata pun ia
keluarkan tak akan sanggup mengembalikan kesadaran lelaki itu ke dunia ini. Ia
pun kembali merapatkan jaketnya.
“Dingin, ya, Ri? Ayo pulang, nanti kamu
masuk angin lagi,” lelaki yang ia tunggu sejak tadi pun akhirnya menoleh dan
kembali ke hadapannya.
Riri memaksakan sebuah senyum. “Gapapa
kok, asal jangan setiap hari, Ka.” Azka tertawa kecil, lalu berjalan ke arah Riri. Tangan Azka tampak
sibuk mencari sesuatu di saku celananya, air mukanya berubah pucat ketika tidak
berhasil menemukan apa yang ia cari.
“Nyari ini?” Riri menahan tawa sembari
mengeluarkan kunci mobil Azka dari tas jinjingnya. Azka dengan cepat meraih
kuncinya dan membukakan pintu mobil sedan putihnya untuk Riri.
“Kalau begitu masuklah, Nyonya,” gurau
Azka sambi menahan tawa.
“Terima kasih, Tuan,” sahut Riri ceria
selagi berjalan masuk ke mobil.
Azka selalu pergi ke bukit ini paling
tidak sebulan sekali. Ia selalu mengajak Riri untuk melihat bintang dan Riri
pun akan ikut walaupun Ia tak begitu mengerti apa yang sebenarnya Azka lakukan
ketika tiba disini. Kalau bukan karena cerita-cerita Azka yang selalu menarik
dan senyumnya yang begitu menenangkan, mungkin Riri sudah tak sudi lagi untuk
menemaninya sekarang. Riri sadar dia bukan orang nomor satu yang berada di hati
Azka saat ini, namun selama ada harapan sekecil lubang jarum pun, Ia sudi
menanti.
“Kenapa, Ri?” tanya Azka heran.
Riri kembali dari lamunannya, ia tidak
menyadari kalau sejak tadi pandangannya tertuju pada Azka. “Hm? Ah, nggak,
bukan apa-apa,” wajahnya memerah.
“Kamu sakit?” Azka menempelkan punggung
tangannya ke dahi Riri.
“Nggak!” Ia dengan sigap menjauhkan
tangan Azka. Ia melihat Azka tertawa lebar, Ia pun ikut tersenyum.
Azka menghetikan tawanya, lalu mencoba
terlihat cemberut. “Kamu sih daritadi diem aja, Aku jadi ngantuk sendiri bawa
mobil.”
“Yang daritadi cuekin aku sambil ngomong
sendiri ngeliatin bintang siapa coba?” kini giliran Riri yang benar-benar
cemberut. Kemudian, ia hanya membuang pandangan ke arah luar jendela mobil.
Malam itu berlangsung panjang, mereka
hanya diam sampai Azka menghentikan mobil di depan rumah Riri. Riri membuka
pintu mobil tanpa menoleh ke arah Azka, kemudian menutupnya dan setengah
berlari ke gerbang rumahnya. Ia mendengar suara jendela mobil diturunkan.
“Riri!” panggil Azka sedikit keras. Jeda
sejenak, ia pun akhirnya terpaksa menoleh. “Makasih ya, aku pergi dulu.”
Azka mendapati dirinya berada dalam
sebuah situasi yang asing. Keheningan yang diciptakan Riri membuat suasana
semakin sepi, ia tak bisa mengerti walau telah memutar otak berkali-kali. Bagi
Azka, Riri adalah sahabat yang baik. Ia suka mendengarkan celotehan Riri yang
tak ada habisnya. Walaupun seringkali perbincangan mereka diakhiri dengan
perdebatan kecil-kecilan akibat perbedaan sudut pandang mereka, Azka menikmati
setiap saat-saat itu.
Azka pun menghentikan mobil di depan
rumah Riri, ia baru saja hendak keluar dari mobil untuk membukakan pintu mobil
untuk Riri saat ia melihat Riri sudah membukanya sendiri. Ia membuka mulut,
namun tak ada kata-kata yang keluar. Azka hanya bisa mengawasi Riri berjalan
memasukki rumahnya.
“Riri!” Azka tak sadar suaranya
terdengar begitu keras di telinganya sendiri. Dan lagi, ia tak tahu apa yang
harus ia katakan setelah itu. Pada akhirnya, ia hanya bisa berkata. “Makasih
ya, aku pergi dulu.”
Azka mengemudi dengan cepatnya, kedua
tangannya erat memegangi setir mobil. Di dalam matanya yang tertuju ke jalanan
di depan terbersit rasa kesal sekaligus cemas. Sampai ketika mobilnya hendak
menabrak pembatas jalan, barulah ia sadar kalau cara mengemudinya terlalu
berantakan. Ia harus pulang dan segera tidur. Ia kelelahan, baik tubuh maupun pikiran.
Ini sudah lewat jam 1 malam dan ia tetap
tidak bisa tidur walaupun badannya sangat lelah, apa yang salah dengan dirinya?
Semua ini akibat Riri, dan ia sadar akan hal itu. Namun, ia juga sadar bahwa
baik dirinya maupun Riri membutuhkan waktu untuk sendiri. Waktu untuk berpikir
dan benar-benar menemukan apa yang mereka ingingkan bersama. Ia sadar, kalau
bukan karena Riri, mengapa dia merasa setengah mati begini?
Riri terbangun dari tidurnya untuk
kesekian kalinya. Awalnya ia hanya ingin tidur dan melupakan semua kejadian
semalam karena ia tau beribu-ribu kalimat pun yang ia lontarkan tak akan mampu
mengubah jalan pikir Azka. Baginya Azka adalah makhluk asing yang menarik untuk
diajak berkomunikasi. Di satu sisi ia dan Azka sangatlah berbeda, namun di sisi
lain mereka memiliki jalan berpikir yang sama. Lalu, mengapa ia harus berkata
seperti itu tadi malam?
Ia memutuskan untuk bangun pagi karena
itu lebih baik daripada harus terjaga terus-menerus saat ia tertidur. Ia
langsung bersiap-siap untuk pergi kerja, ia membuat secangkir teh hangat dan
menyesapnya perlahan. Ya Tuhan. Seakan ia baru tersadar jika ia pergi kerja
maka itu berarti dia harus siap menghadapi semua pertanyaan Azka sementara ia
belum bisa memberikan jawaban apapun. Riri hanya menggenggam cangkirnya lebih
kuat.
Azka tetap terjaga sepanjang malam.
Waktu tidurnya habis untuk memikirkan apa kesalahan yang telah ia perbuat
sampai Riri menjadi sedingin itu kepadanya. Azka uring-uringan sendiri mencari
jalan keluar dari semua ini. Rambutnya acak-acakan, matanya membuat kantung,
dan wajahnya tampak sedikit pucat. Tidak, ia tidak apa-apa. Ia hanya
membutuhkan secangkir kopi hitam dan...
Dan apa? Ini semua tidak berguna
baginya. Ia tetap merasa bersalah, cemas, dan frustasi. Waktu yang ia habiskan
sendiri tanpa Riri terasa begitu panjang. Kemudian, ia tersadar akan sesuatu.
Jika ia memang mencintai orang lain, bila ia memang rela menunggu untuk orang
itu kembali, mengapa ia merasa begitu tidak berdaya tanpa Riri? Ia harus
bertemu Riri secepatnya.
Di meja kantornya, Azka duduk dengan
tegang. Ia berusaha menyelesaikan pekerjaannya secepat mungkin agar tidak
mengganggu. Bukan, ini semua bukan halangan karena ia pintar membagi pikiran.
Tetapi, kenapa sejak tadi ia banyak melakukan kesalahan? Tidak, ia hanya
membohongi diri sendiri. Azka tetap butuh bertemu Riri. Dilihatnya meja kerja
Riri yang masih kosong, kemudian ke arah jam dinding. Masih pukul 7 lewat,
wajar saja Riri belum datang. Ia kini duduk bersandar, tulang belakangnya
terasa nyeri karena sejak tadi ia duduk dengan tegang. Ia memutar kursi untuk
melihat keluar jendela, langit begitu cerah dari sini, lantai 12 kantornya. Ia
heran mengapa langit bisa secerah ini padahal hatinya sangat berkabut. Ia
tersenyum masam memikirkannya. Tiba-tiba ia mendengar suara pintu dibuka.
Riri langsung pergi kerja karena tidak
ada lagi yang harus ia lakukan di rumah. Mungkin kalau ia pergi pagi dan
menyelesaikan pekerjaannya dengan cepat, ia bisa menghindari Azka. Ia membuka
pintu kantornya dan matanya langsung terbelalak, peralatan kantor yang ia bawa
langsung berjatuhan di lantai. Azka sudah berada di sana, di matanya terpantul
bayang awan dan langit yang cerah. Lalu, ia melihat Azka berdiri dan berjalan
mendekatinya. Ya Tuhan. Apa yang diinginkan laki-laki ini sekarang? Kemudian ia
tersadar melihat gerak tangan Azka.
“Nggak usah, biar aku aja,” Riri
menggeleng pelan. Ia bergegas memunguti barang-barangnya yang berserakan di
lantai. Ia melihat suatu kilatan di mata Azka tadi. Apa itu? Rasa cemas? Tidak,
tidak mungkin Azka sampai begitu mencemaskannya. Azka punya orang lain yang
lebih ia cemaskan. Riri pun berjalan ke arah meja kerjanya, sementara ia
melihat Azka duduk kembali ke kursinya.
Terkadang lelaki itu bisa menjadi sangat aneh,
Riri tidak mengerti apa yang sedang Azka pikirkan. Setidaknya ia bisa mengajak
Riri mengobrol sebentar dan meminta maaf seadanya. Tapi tidak, ia hanya duduk
mematung disana sementara Riri kebingungan menebak jalan pikirannya. Riri harus
tetap menghindari Azka. Ia dulu rela menjadi nomor dua, tetapi sekarang
diacuhkan seperti ini? Tidak, dia tidak tahan lagi. Riri sebaiknya pergi
daripada ia harus kalah dari wanita yang tak pernah menampakkan diri itu.
Walaupun ia tidak pernah bertemu dengan wanita itu, tapi Riri kenal baik
bagaimana perilakunya karena hampir setiap hari Azka bercerita tentangnya. Ya,
mungkin memang sebaiknya Riri pergi daripada mengganggu hubungan mereka yang
tidak jelas itu.
Azka menjadi semakin uring-uringan. Ia
tidak mengerti mengapa Riri bersikap seperti ini? Mengapa Riri jadi begini?
Mengapa ia sendiri menjadi seperti ini? Mengapa...
Mengapa apanya? Apa gunanya ia
memikirkan yang sudah terjadi? Bukankah kalau ia menginginkan Riri seharusnya
ia tinggal terang-terangan bicara? Tidak, ia yakin semua ini tidak serumit yang
ia pikirkan. Kalau ia memang menginginkan Riri, ia hanya tinggal mengatakannya,
bukan? Iya, ia harus mengatakannya hari ini juga, sebelum Riri benar-benar
pergi meninggalkannya.
Malam hari itu tiba begitu lama,
pekerjaan yang Azka kerjakan terasa terlalu berat dari biasanya. Tapi sekarang,
akhirnya ia bisa berbicara dengan Riri, dan ia akan melakukannya. Ia baru
melepas tatapan dari layar terpanya saat ia menyadari Riri sudah tidak lagi ada
disana. Astaga, kemana perginya perempuan itu sekarang?
Riri melihat Azka masih sibuk dengan
pekerjaannya, ia memutuskan untuk pergi terlebih dahulu karena pekerjaannya
sudah selesai. Lagipula, apa yang ia harapkan? Lebih baik ia pergi ke atas
gedung untuk menenangkan diri. Ia pun berjalan menaiki tangga dan membuka pintu
rooftop, hari sudah semakin senja dan
ini sempurna. Ia duduk di salah satu bangku panjang dan memejamkan mata untuk
merasakan suasana sore itu, suara keramaian lalu lintas di kejauhan, kicau
burung walet yang bersarang di tingginya gedung-gedung perkotaan, dan... rasa
dingin di pipinya?
Ya Tuhan, ia melihat Azka tersenyum
lebar di belakangnya selagi menjauhkan sekaleng minuman dingin dari pipinya,
lalu menaruhnya di pangkuan tangan Riri. Dan apa ini? Jus jeruk? Apa yang
diingikan laki-laki itu sekarang? Ia ingin bertanya, namun ia memutuskan untuk
diam dan membiarkan Azka duduk di sampingnya.
“Maaf,” baru kali itu Riri mendengar
Azka mengucapkan kata itu. Riri baru saja hendak membuka mulut ketika Azka
melanjutkan. “Aku tau kamu nggak pernah suka diperlakukan sama seperti Kayla.”
Iya, aku memang tidak pernah suka,
batinnya. Ia baru saja ingin membuka mulut untuk menjawab lagi saat tiba-tiba
Azka menarik kedua tangannya yang sedang menahan kaleng minuman. “Te-terus
kenapa?”
“Dulu aku kira semenjak Kayla meninggal,
aku tidak akan bisa berpindah hati sama kamu. Tapi, sekarang aku sadar. Kalau
aku memang menganggapmu sebagai seorang teman biasa, kenapa aku sampai sekesal
ini tanpa kamu? Kenapa aku nggak bisa berpikir jernih tanpa kamu di sampingku?
Aku sadar, yang aku butuhkan itu kamu, Riri.” Riri hanya terdiam menatap kaleng
jus di tangannya, lalu ia melihat tangan Azka terulur untuk membuka tutupnya.
“Hanya karena aku nggak tau, bukan
berarti aku nggak peduli,” Azka tersenyum. Senyum menenangkan yang sama seperti
apa yang selalu ia sukai. Dan kali ini senyum itu sepenuhnya miliknya dan ia
tidak akan melepaskannya. Sudut bibir Riri ikut terkembang saat ia menyenderkan
kepala ke pundak Azka.
It's a story I made not long ago for a competition, haven't thought about posting it until now. For those didn't read it yet, you may read it now^^
3 Comments
Awesome! Jadi pingin nangis setelah membacanya.. :')
BalasHapusTerima kasih pembaca setia.
BalasHapusHaha, sama-sama
BalasHapus