Harmoni
01:31
Baru kali ini dapet request dari orang yang tak dikenal, lumayan nyenengin. :3 Ceritanya mau dibuat animasi 5 menit nih, semoga memuaskan sang animator.^^ So, here it is!
Lancaster,
Inggris - 2015
Sudah 3 tahun berlalu ya? Yah, tidak bisa kubilang
tidak terasa sih, aku harap kamu cepat kembali kesini, Ed. Kami masih latihan
rutin seperti biasanya, dan sebentar lagi kami akan mendaftar untuk festival
band besar itu. Kamu masih ingat ‘The High Note’ kan, Ed? Iya, kami akan
bermain di acara itu. Aku dan Rei akan menunggumu.
Edwin
memasukkan telepon genggamnya ke saku celananya. Ia tersenyum, namun juga
terlihat takut. Ia bangkit dari tempat duduknya, berjalan ke luar ruang tunggu,
menarik tas kopernya ke dalam bandara melewati kerumunan orang dan menghilang
di antaranya.
Bandung,
Indonesia - 2015
“Hei,
Sara. Kamu masih berhubungan sama orang itu?” tanya Rei sambil terus memandangi
poster The High Note yang tertempel
di salah satu dinding studio band milik keluarga Sara.
“Siapa?
Edwin? Tentu saja masih,” jawab Sara singkat. Ia tak ingin memberi penjelasan
panjang. “Wah, mereka sudah menempel posternya?”
“Hm,
aku juga baru melihatnya.” Rei menyingkir untuk membiarkan Sara melihat poster
itu. “Lihat itu, aku sudah tidak sabar.”
“Wah,
bahkan band bintang tamunya keren-keren!” ucap Sara dengan wajah girang.
“Seperti 10 tahun yang lalu ya, Rei?”
“10
tahun yang lalu?” balas Rei tak begitu mengerti.
“10
tahun lalu, kita juga melihat poster The
High Note ini.”
☁
Bandung,
Indonesia - 2005
“Rei,
kamu masih 9 tahun, tapi teknik gitarmu sudah seperti ayahnya Sara!” puji salah
seorang anak lelaki berambut pirang.
“T-tapi...
aku cuman bisa main gitar akustik, Ed,” ucap anak lelaki satunya, sambil
memperbaiki kacamatanya yang terturun setelah bermain gitar tadi.
“Hei, itu tidak masalah, bukan? Selama
kamu terus melatih apa yang kamu bisa lakukan, semua pasti akan berjalan dengan
baik.”
Mereka berdua tersenyum, kemudian
melanjutkan latihan mereka. Tiba-tiba, pintu studio terbuka kencang. Seorang
anak perempuan berlari ke dalam, ia sempat terjatuh, namun dengan cepat berlari
lagi untuk mendatangi teman-temannya.
“Li-lihat ini!” seru anak perempuan itu,
menunjukkan selembar poster yang ia bawa sejak tadi.
“The
High Note?” tanya kedua anak lelaki itu bersamaan.
“Ayahku akan bermain di acara ini! Dia
bilang ini festival band besar yang cuman diadakan dua tahun sekali!”
“Wah, aku jadi pengen pergi menonton
ayah Sara main,” ucap anak berkacamata.
“Hey, menonton saja tidak asik.
Bagaimana kalau kita yang bermain di sana?” tanya anak berambut pirang.
“Oke! Sudah diputuskan! Kita akan terus
berlatih sampai kita bisa bermain di acara itu!”
“Hei, hei. Aku tidak boleh memberikan
pendapatku?” ucap anak berkacamata sambil menaruh gitar akustiknya dan kemudian
berdiri. “Memenangkan The High Note hanya
akan menjadi awal mulanya, ayo buat band yang akan terkenal sampai ke luar
negeri!”
Dua anak lainnya ikut berdiri dan mereka
semua tertawa gembira.
☁
Bandung, Indonesia - 2015
Sara mengambil microphone dan langsung melakukan pemanasan suara, sementara Rei
masih menyetem gitar akustiknya. Kemudian terdengar suara ketukan di pintu
studio, Sara pergi membuka pintu studio milik ayahnya dengan segera.
“Ed! Kamu sudah sam—“ Sebuah tinju
melayang tepat ke arah wajah Edwin, bahkan sebelum Sara dapat menyelesaikan
kalimatnya. Edwin terduduk di lantai, namun dia hanya diam tak membalas.
“Apa yang kamu lakukan disini?” ucap
Rei, ia berbalik ke arah gitarnya, tak ingin melihat wajah Edwin.
“H-hei...” Edwin mencoba bangkit. “Kamu
menjatuhkan ini.”
Rei menoleh untuk melihat apa yang
dipegang Edwin. Sebuah pick gitar
yang sejak tadi dia gunakan, bukan, yang sejak kecil dia gunakan. Ia tidak
pernah mengganti pick gitarnya sejak 10 tahun yang lalu.
☁
Bandung, Indonesia – 2005
“Rei, kenapa kuku jarimu begitu pendek?”
tanya anak berambut pirang.
“Eh... aku punya kebiasaan buruk, aku
selalu menggigiti kuku jari tanganku tanpa sadar,” ucap anak berkacamata,
menunjukkan tangannya. “Iya, sih. Aku jadi kesulitan memetik gitar.”
“Sebentar.” Si anak berambut pirang
mengambil sesuatu dari saku celananya, kemudian menggenggamnya erat. “Berikan
tanganmu.”
“Apa ini?” Sebuah potongan plastik
berujung sedikit runcing jatuh ke tangan anak berkacamata.
“Ini namanya pick, sekarang coba pakai ini, ya.”
☁
Bandung, Indonesia – 2015
Mereka semua masih berdiri di dekat
pintu studio. Edwin masih berdiri di luar, Rei masih membalikkan punggungnya
dari arah Edwin, dan Sara masih terkejut dengan semua yang baru saja terjadi.
“Kenapa?” Rei memecah keheningan, kedua
tangannya yang masih mengepal mulai bergetar. “Kenapa baru sekarang kamu
kembali?”
“Aku... aku minta maaf.” Edwin melangkah
dengan ragu ke dalam studio. “Aku pergi ke Lancaster untuk belajar bermain
piano lebih lanjut. Kakekku yang mena—“
“Aku nggak peduli!” sela Rei, dengan
tangan yang masih bergetar, namun kali ini getaran itu menjalar ke pundaknya.
“Yang aku tahu, kamu nggak ada di sini selama 3 tahun ini. Dan sekarang waktu
kami mau tampil di The High Note,
kamu baru menunjukkan batang hidungmu?”
“Kamu nggak mengerti, oke?!” Kini
giliran Edwin berteriak, ia sudah kehabisan kesabaran. “Kamu terlahir dengan
bakat bermain gitar, Rei! Sementara aku... aku bahkan belum pernah menyentuh
keyboard sebelum aku bertemu kalian dan latihan di tempat ini. Kamu nggak akan
pernah mengerti, Rei.”
“Aku bilang aku nggak peduli,” ucap Rei,
masih membalikkan punggungnya. “Aku sama Sara masih akan menepati janji bermain
di The High Note dengan atau tan—“
“Cukup!” Sara menutupi wajahnya dengan
dua tangan, air matanya berjatuhan di lantai studio. Rei langsung berbalik ke
arah Sara, tidak tega mendengarnya tangisan sahabat baiknya. “Rei, nggak ada
gunanya kalau kita main di The High Note
tanpa Ed. Karena janji itu, janji yang dibuat 3 orang, dan harus ditepati juga
oleh 3 orang.”
Rei yang sejak tadi menahan tangisnya
pun akhirnya ikut menitikkan air mata, Edwin terkejut melihatnya dan akhirnya
juga ikut menangis. Ruangan itu hening, kecuali dengan suara tetesan air mata
yang berjatuhan ke lantai, dan mereka semua berdiri sendiri, di dalam studio
berlampu redup dan dingin. Kemudian, Sara melompat untuk merangkul ke dua
temannya, dan mereka pun kemudian tersenyum.
☁
Bandung, Indonesia – 2015
“Kalian siap?!” ucap Sara berteriak
riang.
“Yah, begitulah,” jawab Rei mengeluarkan
gitar akustiknya dari dalam tas.
“Yes,
sir!” balas Edwin yang baru saja datang sambil membawa keyboard dari luar ruang tunggu.
“Kalau begitu, ayo kita mulai!” Dan
mereka melangkah memasuki panggung.
0 Comments